SNOUCK HURGRONJE DI INDONESIA
Di masa lalu, Aceh yang dikenal
dengan kota Serambi Mekkah dan juga memiliki kerajaan Islam Banda Aceh
Darussalam, lazimnya kerajaan besar yang berdasarkan landasan hukum Islam,
sehingga setiap orang harus patuh kepada adat dan hukum bersama-sama, oleh
karena mempunyai sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadis.[1]
Masa penjajahan kolonial Belanda tidak sedikit pejuang-pejuang Aceh berjuang
dalam mempertahankan negeri Aceh termasuk juga kaum wanita. Para pejuang-pejuang
tersebut antara lain : Panglima Polem, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak
Meutia, Teungku Cik Di Tiro dan lain-Lain. Para pejuang-pejuang ini berjuang
mati-matian demi negeri Aceh jangan sampai dimasuki oleh orang-orang-orang asing
yang akan merusak tatanan kehidupan rakyat Aceh terutama dari segi agama yang
mayoritas agama Islam. Snouck Hurgronje adalah orang Belanda yang pertama kali
ingin menundukkan dan menghancurkan rakyat Aceh. Politiknya diawali pada tahun 1885
dengan dalih pindah agama dari agama Nasrani keagama Islam dan bahkan ia
tinggal di Mekah. Bermukimnya Snouck di Mekkah dengan tujuan untuk mempelaiari
dan rnemperdalam ajaran agama Islam dan sekaligus menyelidiki warga pribumi
Hindia Belanda yang ada di kota Mekkah. Pada waktu Snouck sedang mengumpulkan
data-data tentang karakter masyarakat Aceh, Snouck mendapat kabar dari
orang-orang Belanda yang berada di Indonesia bahwa ribuan prajurit Belanda
tewas dalarn menghadapi perang Aceh (1873-1896). Atas peristiwa inilah Snouck ingin
membalas dendam dengan jalan apapun akan menundukkan dan menghancurkan rakyat
Aceh.[2]
1.
Awal Snouck Hurgronje Mengenal Aceh
Pada saat rnusim haji tiba Snouck
mendapat kesempatan bertemu jemaah haji dari Hindia Timur. Dari para jemaah
inilah ia mendapat keterangan mengenai situasi Perang Aceh yang sedang berlangsung
dan telah menewaskan ribuan prajurit Belanda. Pristiwa yang sangat penting
adalah pertemuan dengan Sayyid Usman, warga Batavia yang bermukim sementara di
Mekkah, Beliau menginformasikan bahwa orang-orang Aceh adalah penganut Islam
yang fanatik, mereka akan puas jika seluruh pemerintah dalam negeri diatur oleh
tokoh yang beriman meskipun di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selama
tujuh bulan berada di Mekkah, tujuan dan status Snouck mulai diketahui pemerintah
setempat setelah dihasut oieh wakil konsul Prancis. Masyarakat Mekkah pun telah
mengetahui berita-berita pers di dunia barat yang menyatakan bahwa Snouck bukanlah
seorang muslim, melainkan mata-mata pemerintah Belanda. Ia juga dituduh telah
mencuri batu perhiasan sehingga tergesa-gesa meninggalkan kota
suci karena diusir pemerintah Arab Saudi.[3]
Meskipun diusir secara tidak hormat
dari Mekkah, namun ia adalah Sarjana Belanda pertama yang berhasil memasuki
kota suci yang terlarang bagi orang kafir itu. Sekembalinya dari Arab, Snouck
mengajar kembali di Universitas Leiden selarna tiga tahun. Pada tahun 1887 ia
diminta mengadakan penelitian di Batavia Schegenoot School Van Kusten
Weterschappen atau Perhimpunan Bat (Indonesia) untuk mengumpulkan data tentang lembaga-lembaga
Isiam di Jawa dan Madura, tetapi yang diutamakan data memasuki daerah Aceh yang
telah lama diduduki oleh Belanda, namun belum dapat terkalahkan.[4]
2.
Pelaksanaan Politik Chiristian Snouck Hurgronje
Situasi politik yang terjadi di
berbagai daerah di Aceh membuktikan bahwa perlawanan rakyat Aceh sangat sukar
dikalahkan oleh Belanda. Akhirnya pemerintah Belanda menempuh berbagai macam
cara untuk menngetahui rahasia politik dan kekuatan rakyat Aceh dengan mengutus
Snouck Hugronje. Sebelumnya memang Snouck sudah mengetahui situasi dan kondisi
Aceh baik faktor politik, sosial, maupun agama. Setibanya di Aceh Snouck
menggunakan narna samaran seperti habib Putih Agam, Teuku mansyur, Abdul Al
Ghaffan, dan Teuku Amin. Ia tinggal di tengah-tengah kehidupan rakyat di Peukan
selama bulan Juli 1891 sampai Februari 1392.
Berkat kepandaian dalarn berbahasa
Arab, fasih membaca Ai-Quran dan ahli dalam hukum Islarn maka Snouck mendapat
sambutan yang baik dari rakyat Aceh. Khususnya kaum ulama. Dalam kehidupan
sehari-hari selalu mendapat kesempatan untuk berceramah di surau-surau atau
masjid dengan memutar balikkan ajaran agama dan meperdebatkan perbedaan mazhab.
Ia juga membesar-besarkan kekuatan Belanda yang sudah menggunakan persenjataan
yang lengkap dan modern. Kesempatan ini juga digunakan oleh Snouck untuk
mengadu domba antara raja dengan kaum ulama dan sesama kaum ulama .[5]
Di lain pihak sering terjadi
perselisihan paham antara pemirnpin pemerintahan Belanda dengan para prajurit
mengenai kebijaksanaan pemerintah Belanda dalarn menghadapi perlawanan dan
perjuangan rakyat Aceh. Perselisihan itu disebabkan telah banyaknya komandan
tentara dan Gubernur Militer yang diganti maupun dipecat dalam waktu singkat. Untuk
mengatasi hal itu Snouck berpendapat bahwa kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap
Islarn harus bersifat terbuka untuk mengalahkan kaum muslim di Aceh. Masalah
agama dan politik harus dipisahkan. Snouck juga rnenyalahkan pemerintahnya yang
selalu ketakutan terhadap Islam, karena pemerintah Belanda belum mengetahui bahwa
agama Islam yang dianut oleh orang Aceh tidak terlepas dari pengaruh di luar
ajaran agama Islam. Mereka tidak hanya setia kepada agamanya, tetapi setia pula
kepada hukum adat setempat.[6]
Melihat situasi yang semakin sengit
akhirnya Snouck memperingatkan pemerintah Belanda agar jangan rnengadakan
kontak dengan musuh yang aktif trutama jika mereka terdiri dari kaum ulama.
Menurut kedudukan Sultan di Aceh tidak berpengaruh sama sekali terhadap
perjuangan rakyat, namun kaum ulama lah yang memegang kendali semangat dan
motivasi perjuangan rakyat Aceh. Oleh karena itu, tidak ada istilah damai
dengan kaum ulama. Untuk menghancurkan semangat perjuangan rakyat Aceh ditempuh
politik sandera dan politik devide et impera atau memecah belah kaum ulama dan
kaum bangsawan. Keluarga raja dan kaurn bangsawan diberi kedudukan dan pangkat,
gaji yang besar, anak anak dan keluarganya di sekolahkan di sekolah-sekolah Belanda.
Kaum ulama harus dikejar dan ditangkap atau dibunuh untuk menghilangkan
semangat perjuangan rakyat. Rakyat Aceh tak akan patuh kepada pemerintahan
Belanda apabila mereka ditaklukkan dengan senjata.[7]
3.
Perlawanan Rakyat Aceh
Melihat situasi yang demikian
memanas, pemerintah Belanda berusaha mencegah agar kaum ulama tidak menduduki lembaga-lembaga
pemerintahan karena golongan ini mempunyai hubungan erat dengan rakyat sehingga
mereka mampu mengerahkan dan memimpin rakyat. Disarnping itu pemerintah Belanda
harus membatasi gerak dan pengaruh Islam melalui asimilasi kebudayaan dan
kristenisasi dengan kaum bangsawan untuk dididik dengan pendidikan barat.
Maksud Snouck ini untuk menjalin hubungan antara Belanda dengan Hindia Belanda
yang berbeda kultur karena dengan adanya itu kedua belah pihak akan mengarah
pada persatuan.[8]
Bulan Maret 1896 rnerupakan titik
balik bagi perjuangan rakyat Aceh. Dalam pertempuran di Aneuk Galong pejuang
Aceh banyak yang gugur dan tertawan, tetapi mereka tidak mengenal menyerah, masih
terus mengadakan perlawanan. Pada saat kekalahan yang beruntun dan perjuangan
dirasakan semakin terdesak, maka pada bulan November 1897 sultan mengadakan
musyawarah untuk mempertahankan daerah Pidie. Saat itu Teuku Urnar segera menggabungkan
diri dengan Panglirna Polem dan para Sultan Aceh. Ternyata hal ini diketahui
oleh Snouck dan Van Heutz. Mereka berdua menggerakkan pasukannya untuk
menyerang Pidie karena para pemimpin Aceh ada di daerah tersebut. Desakan dan serbuan
pasukan Marsose tidak dapat dikalahkan sehingga beberapa pemimpin di daerah
Pidie menyerah kepada Belanda. Teuku Umar menyingkir di Daya Hulu, Aceh Besar dan Panglirna Polem ke Aceh.[9]
Kondisi perjuangan rakyat Aceh semakin
terdesak, Sultan dan Panglima Polem mendirikan markas pertahanan di Kutasawang,
Aceh Utara yang dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk menyerang Belanda. Akhirnya
daerah itu dapat direbut oleh pasukan Belanda. Di Aceh Barat, Teuku Umar
memperkuat pasukan untuk mengadakan penyerangan ke Meulaboh, tetapi Belanda
mengetahui rencananya. Pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda menyerang rnarkas
pertahanan Teuku Umar sedangkan istrinya Cut Nyak Dhin menyingkir ke pedalaman
untuk melanjutkan perjuangan suaminya. Pada bulan November
1899 Sultan terpaksa mengundurkan diri ke bukit Keuretoe, sedangkan
Panglima Polem melarikan diri ke pegunungan sebelah selatan Lembah Pidie Menjelang
tahun 1900 sekitar 82 ulubalang di daerah Aceh telah menandatangani Korte
Verklaring atau perjanjian pendek yang isinya antara lain menyatakan:
"setiap
daerah taklukan harus mengakui kekuasaan Belanda dan tunduk kepada Gubernur militer
aceh. Daerah taklukan dilarang berhubungan dengan bangsa asing" .[10]
Maka seluruh pasukan Marsose dikerahkan sepenuhnya untuk mengadakan
pengejaran terhadap pasukan Panglima Polem, karena tempat persembunyiannya telah
diketahui oleh pasukan Marsose dan telah berhasil menawan ibu, istri, serta
anak-anaknya. Peristiwa ini menyebabkan Panglima Polem dan sisa pasukannya yang
berjumlah l50 orang terpaksa menyerah kepada Belanda dalam bulan September
1903.
Kenyataan ini menyebabkan perjuangan
rakyat Aceh semakin terdesak dan memberikan peluang bagi pemerintah Belanda
untuk menguasai seluruh wilayah kerajaan Belanda. Hal ini tidaklah membuat perjuangan
rakyat menentang Belanda berakhir sama sekali namun perjuangan rakyat masih
tetap berlangsung. Para pemimpin adat dan kaum ulama masih tetap mengadakan
perlawanan dan mernilih mati syahid daripada menyerah. Ini adaiah satu-satunya daerah
pertahanan rakyat yang belum dikuasai oleh pasukan Marsose. Dengan dikuasainya
benteng yang terakhir oleh pasukan Marsose, maka seluruh wilayah Aceh berada
dalam naungan kekuasaan Belanda. Meskipun pada teori politik Snouck berhasil dalam
menundukkan perjuangan rakyat Aceh, namun pada kenyataannya perjuangan rakyat
Aceh masih tetap berlangsung secara bergerilya hingga pendudukan Jepang pada tahun
1942.[11]
[1]
Yayasan Al-Hikmah, jurnal dua bulanan Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam,
No. 49 THN, Jakarta: PT Tomasu,
XI 2000, hlm. 60.
[2]
Criksetra: Jurnal Pendidikan dan Kajian Sejarah, volume 3 nomor 4
agustus 2013, 3408-50
[3]
C. Snouck Hugronje, Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhatara,1973, hlm.
8
[4]
M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda, Jakarta: Balai
Pustaka, 1983, hlm. 104
[5]
Ibid,
[6]
M T. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka
Jaya, 1987, hlm. 88
[7]
Zakaria
Ahmad, Cut Nyak Meutia, Jakarta: Manggala Bhakti,1993, hlm. 9
[8]
Op, Cit, Deliar Noer, 1982, hlm. 26
[9]
Nugroho
Notosusanto dkk, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka,
1984, hlm. 259
[10]
Mr.
Hardi, Menarik Pelajaran dari Sejarah, Jakarta: Haji Masagung, 1988,
hlm. 94
[11]
Op, Cit, Nugroho Notosusanto dkk
1983, hlm. 260
Tidak ada komentar:
Posting Komentar