Sabtu, 29 Oktober 2016

SNOUCK HURGRONJE, makalah pasca uin su, medan



SNOUCK HURGRONJE DI INDONESIA


Di masa lalu, Aceh yang dikenal dengan kota Serambi Mekkah dan juga memiliki kerajaan Islam Banda Aceh Darussalam, lazimnya kerajaan besar yang berdasarkan landasan hukum Islam, sehingga setiap orang harus patuh kepada adat dan hukum bersama-sama, oleh karena mempunyai sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadis.[1] Masa penjajahan kolonial Belanda tidak sedikit pejuang-pejuang Aceh berjuang dalam mempertahankan negeri Aceh termasuk juga kaum wanita. Para pejuang-pejuang tersebut antara lain : Panglima Polem, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Teungku Cik Di Tiro dan lain-Lain. Para pejuang-pejuang ini berjuang mati-matian demi negeri Aceh jangan sampai dimasuki oleh orang-orang-orang asing yang akan merusak tatanan kehidupan rakyat Aceh terutama dari segi agama yang mayoritas agama Islam. Snouck Hurgronje adalah orang Belanda yang pertama kali ingin menundukkan dan menghancurkan rakyat Aceh. Politiknya diawali pada tahun 1885 dengan dalih pindah agama dari agama Nasrani keagama Islam dan bahkan ia tinggal di Mekah. Bermukimnya Snouck di Mekkah dengan tujuan untuk mempelaiari dan rnemperdalam ajaran agama Islam dan sekaligus menyelidiki warga pribumi Hindia Belanda yang ada di kota Mekkah. Pada waktu Snouck sedang mengumpulkan data-data tentang karakter masyarakat Aceh, Snouck mendapat kabar dari orang-orang Belanda yang berada di Indonesia bahwa ribuan prajurit Belanda tewas dalarn menghadapi perang Aceh (1873-1896). Atas peristiwa inilah Snouck ingin membalas dendam dengan jalan apapun akan menundukkan dan menghancurkan rakyat Aceh.[2]

1.      Awal Snouck Hurgronje Mengenal Aceh
Pada saat rnusim haji tiba Snouck mendapat kesempatan bertemu jemaah haji dari Hindia Timur. Dari para jemaah inilah ia mendapat keterangan mengenai situasi Perang Aceh yang sedang berlangsung dan telah menewaskan ribuan prajurit Belanda. Pristiwa yang sangat penting adalah pertemuan dengan Sayyid Usman, warga Batavia yang bermukim sementara di Mekkah, Beliau menginformasikan bahwa orang-orang Aceh adalah penganut Islam yang fanatik, mereka akan puas jika seluruh pemerintah dalam negeri diatur oleh tokoh yang beriman meskipun di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selama tujuh bulan berada di Mekkah, tujuan dan status Snouck mulai diketahui pemerintah setempat setelah dihasut oieh wakil konsul Prancis. Masyarakat Mekkah pun telah mengetahui berita-berita pers di dunia barat yang menyatakan bahwa Snouck bukanlah seorang muslim, melainkan mata-mata pemerintah Belanda. Ia juga dituduh telah mencuri batu perhiasan sehingga tergesa-gesa meninggalkan kota
suci karena diusir pemerintah Arab Saudi.[3]
Meskipun diusir secara tidak hormat dari Mekkah, namun ia adalah Sarjana Belanda pertama yang berhasil memasuki kota suci yang terlarang bagi orang kafir itu. Sekembalinya dari Arab, Snouck mengajar kembali di Universitas Leiden selarna tiga tahun. Pada tahun 1887 ia diminta mengadakan penelitian di Batavia Schegenoot School Van Kusten Weterschappen atau Perhimpunan Bat (Indonesia) untuk mengumpulkan data tentang lembaga-lembaga Isiam di Jawa dan Madura, tetapi yang diutamakan data memasuki daerah Aceh yang telah lama diduduki oleh Belanda, namun belum dapat terkalahkan.[4]
2.      Pelaksanaan Politik Chiristian Snouck Hurgronje
Situasi politik yang terjadi di berbagai daerah di Aceh membuktikan bahwa perlawanan rakyat Aceh sangat sukar dikalahkan oleh Belanda. Akhirnya pemerintah Belanda menempuh berbagai macam cara untuk menngetahui rahasia politik dan kekuatan rakyat Aceh dengan mengutus Snouck Hugronje. Sebelumnya memang Snouck sudah mengetahui situasi dan kondisi Aceh baik faktor politik, sosial, maupun agama. Setibanya di Aceh Snouck menggunakan narna samaran seperti habib Putih Agam, Teuku mansyur, Abdul Al Ghaffan, dan Teuku Amin. Ia tinggal di tengah-tengah kehidupan rakyat di Peukan selama bulan Juli 1891 sampai Februari 1392.
Berkat kepandaian dalarn berbahasa Arab, fasih membaca Ai-Quran dan ahli dalam hukum Islarn maka Snouck mendapat sambutan yang baik dari rakyat Aceh. Khususnya kaum ulama. Dalam kehidupan sehari-hari selalu mendapat kesempatan untuk berceramah di surau-surau atau masjid dengan memutar balikkan ajaran agama dan meperdebatkan perbedaan mazhab. Ia juga membesar-besarkan kekuatan Belanda yang sudah menggunakan persenjataan yang lengkap dan modern. Kesempatan ini juga digunakan oleh Snouck untuk mengadu domba antara raja dengan kaum ulama dan sesama kaum ulama .[5]
Di lain pihak sering terjadi perselisihan paham antara pemirnpin pemerintahan Belanda dengan para prajurit mengenai kebijaksanaan pemerintah Belanda dalarn menghadapi perlawanan dan perjuangan rakyat Aceh. Perselisihan itu disebabkan telah banyaknya komandan tentara dan Gubernur Militer yang diganti maupun dipecat dalam waktu singkat. Untuk mengatasi hal itu Snouck berpendapat bahwa kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap Islarn harus bersifat terbuka untuk mengalahkan kaum muslim di Aceh. Masalah agama dan politik harus dipisahkan. Snouck juga rnenyalahkan pemerintahnya yang selalu ketakutan terhadap Islam, karena pemerintah Belanda belum mengetahui bahwa agama Islam yang dianut oleh orang Aceh tidak terlepas dari pengaruh di luar ajaran agama Islam. Mereka tidak hanya setia kepada agamanya, tetapi setia pula kepada hukum adat setempat.[6]
Melihat situasi yang semakin sengit akhirnya Snouck memperingatkan pemerintah Belanda agar jangan rnengadakan kontak dengan musuh yang aktif trutama jika mereka terdiri dari kaum ulama. Menurut kedudukan Sultan di Aceh tidak berpengaruh sama sekali terhadap perjuangan rakyat, namun kaum ulama lah yang memegang kendali semangat dan motivasi perjuangan rakyat Aceh. Oleh karena itu, tidak ada istilah damai dengan kaum ulama. Untuk menghancurkan semangat perjuangan rakyat Aceh ditempuh politik sandera dan politik devide et impera atau memecah belah kaum ulama dan kaum bangsawan. Keluarga raja dan kaurn bangsawan diberi kedudukan dan pangkat, gaji yang besar, anak anak dan keluarganya di sekolahkan di sekolah-sekolah Belanda. Kaum ulama harus dikejar dan ditangkap atau dibunuh untuk menghilangkan semangat perjuangan rakyat. Rakyat Aceh tak akan patuh kepada pemerintahan Belanda apabila mereka ditaklukkan dengan senjata.[7]
3.      Perlawanan Rakyat Aceh
Melihat situasi yang demikian memanas, pemerintah Belanda berusaha mencegah agar kaum ulama tidak menduduki lembaga-lembaga pemerintahan karena golongan ini mempunyai hubungan erat dengan rakyat sehingga mereka mampu mengerahkan dan memimpin rakyat. Disarnping itu pemerintah Belanda harus membatasi gerak dan pengaruh Islam melalui asimilasi kebudayaan dan kristenisasi dengan kaum bangsawan untuk dididik dengan pendidikan barat. Maksud Snouck ini untuk menjalin hubungan antara Belanda dengan Hindia Belanda yang berbeda kultur karena dengan adanya itu kedua belah pihak akan mengarah pada persatuan.[8]
Bulan Maret 1896 rnerupakan titik balik bagi perjuangan rakyat Aceh. Dalam pertempuran di Aneuk Galong pejuang Aceh banyak yang gugur dan tertawan, tetapi mereka tidak mengenal menyerah, masih terus mengadakan perlawanan. Pada saat kekalahan yang beruntun dan perjuangan dirasakan semakin terdesak, maka pada bulan November 1897 sultan mengadakan musyawarah untuk mempertahankan daerah Pidie. Saat itu Teuku Urnar segera menggabungkan diri dengan Panglirna Polem dan para Sultan Aceh. Ternyata hal ini diketahui oleh Snouck dan Van Heutz. Mereka berdua menggerakkan pasukannya untuk menyerang Pidie karena para pemimpin Aceh ada di daerah tersebut. Desakan dan serbuan pasukan Marsose tidak dapat dikalahkan sehingga beberapa pemimpin di daerah Pidie menyerah kepada Belanda. Teuku Umar menyingkir di Daya Hulu,  Aceh Besar dan Panglirna Polem ke Aceh.[9]
Kondisi perjuangan rakyat Aceh semakin terdesak, Sultan dan Panglima Polem mendirikan markas pertahanan di Kutasawang, Aceh Utara yang dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk menyerang Belanda. Akhirnya daerah itu dapat direbut oleh pasukan Belanda. Di Aceh Barat, Teuku Umar memperkuat pasukan untuk mengadakan penyerangan ke Meulaboh, tetapi Belanda mengetahui rencananya. Pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda menyerang rnarkas pertahanan Teuku Umar sedangkan istrinya Cut Nyak Dhin menyingkir ke pedalaman untuk melanjutkan perjuangan suaminya. Pada bulan November
1899 Sultan terpaksa mengundurkan diri ke bukit Keuretoe, sedangkan Panglima Polem melarikan diri ke pegunungan sebelah selatan Lembah Pidie Menjelang tahun 1900 sekitar 82 ulubalang di daerah Aceh telah menandatangani Korte Verklaring atau perjanjian pendek yang isinya antara lain menyatakan:
"setiap daerah taklukan harus mengakui kekuasaan Belanda dan tunduk kepada Gubernur militer aceh. Daerah taklukan dilarang berhubungan dengan bangsa asing" .[10]
Maka seluruh pasukan Marsose dikerahkan sepenuhnya untuk mengadakan pengejaran terhadap pasukan Panglima Polem, karena tempat persembunyiannya telah diketahui oleh pasukan Marsose dan telah berhasil menawan ibu, istri, serta anak-anaknya. Peristiwa ini menyebabkan Panglima Polem dan sisa pasukannya yang berjumlah l50 orang terpaksa menyerah kepada Belanda dalam bulan September 1903.
Kenyataan ini menyebabkan perjuangan rakyat Aceh semakin terdesak dan memberikan peluang bagi pemerintah Belanda untuk menguasai seluruh wilayah kerajaan Belanda. Hal ini tidaklah membuat perjuangan rakyat menentang Belanda berakhir sama sekali namun perjuangan rakyat masih tetap berlangsung. Para pemimpin adat dan kaum ulama masih tetap mengadakan perlawanan dan mernilih mati syahid daripada menyerah. Ini adaiah satu-satunya daerah pertahanan rakyat yang belum dikuasai oleh pasukan Marsose. Dengan dikuasainya benteng yang terakhir oleh pasukan Marsose, maka seluruh wilayah Aceh berada dalam naungan kekuasaan Belanda. Meskipun pada teori politik Snouck berhasil dalam menundukkan perjuangan rakyat Aceh, namun pada kenyataannya perjuangan rakyat Aceh masih tetap berlangsung secara bergerilya hingga pendudukan Jepang pada tahun 1942.[11]



[1] Yayasan Al-Hikmah, jurnal dua bulanan Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 49 THN,  Jakarta: PT Tomasu, XI 2000, hlm. 60.
[2] Criksetra: Jurnal Pendidikan dan Kajian Sejarah, volume 3 nomor 4 agustus 2013, 3408-50
[3] C. Snouck Hugronje, Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhatara,1973, hlm. 8
[4] M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda, Jakarta: Balai Pustaka, 1983, hlm. 104
[5] Ibid,
[6] M T. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987, hlm. 88
[7] Zakaria Ahmad, Cut Nyak Meutia, Jakarta: Manggala Bhakti,1993, hlm. 9
[8] Op, Cit, Deliar Noer, 1982, hlm. 26
[9] Nugroho Notosusanto dkk, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 259
[10] Mr. Hardi, Menarik Pelajaran dari Sejarah, Jakarta: Haji Masagung, 1988, hlm. 94
[11] Op, Cit, Nugroho Notosusanto dkk  1983, hlm. 260

Tidak ada komentar:

Posting Komentar