Sabtu, 29 Oktober 2016

SNOUCK HURGRONJE, makalah pasca uin su, medan



SNOUCK HURGRONJE DI INDONESIA


Di masa lalu, Aceh yang dikenal dengan kota Serambi Mekkah dan juga memiliki kerajaan Islam Banda Aceh Darussalam, lazimnya kerajaan besar yang berdasarkan landasan hukum Islam, sehingga setiap orang harus patuh kepada adat dan hukum bersama-sama, oleh karena mempunyai sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadis.[1] Masa penjajahan kolonial Belanda tidak sedikit pejuang-pejuang Aceh berjuang dalam mempertahankan negeri Aceh termasuk juga kaum wanita. Para pejuang-pejuang tersebut antara lain : Panglima Polem, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Teungku Cik Di Tiro dan lain-Lain. Para pejuang-pejuang ini berjuang mati-matian demi negeri Aceh jangan sampai dimasuki oleh orang-orang-orang asing yang akan merusak tatanan kehidupan rakyat Aceh terutama dari segi agama yang mayoritas agama Islam. Snouck Hurgronje adalah orang Belanda yang pertama kali ingin menundukkan dan menghancurkan rakyat Aceh. Politiknya diawali pada tahun 1885 dengan dalih pindah agama dari agama Nasrani keagama Islam dan bahkan ia tinggal di Mekah. Bermukimnya Snouck di Mekkah dengan tujuan untuk mempelaiari dan rnemperdalam ajaran agama Islam dan sekaligus menyelidiki warga pribumi Hindia Belanda yang ada di kota Mekkah. Pada waktu Snouck sedang mengumpulkan data-data tentang karakter masyarakat Aceh, Snouck mendapat kabar dari orang-orang Belanda yang berada di Indonesia bahwa ribuan prajurit Belanda tewas dalarn menghadapi perang Aceh (1873-1896). Atas peristiwa inilah Snouck ingin membalas dendam dengan jalan apapun akan menundukkan dan menghancurkan rakyat Aceh.[2]

1.      Awal Snouck Hurgronje Mengenal Aceh
Pada saat rnusim haji tiba Snouck mendapat kesempatan bertemu jemaah haji dari Hindia Timur. Dari para jemaah inilah ia mendapat keterangan mengenai situasi Perang Aceh yang sedang berlangsung dan telah menewaskan ribuan prajurit Belanda. Pristiwa yang sangat penting adalah pertemuan dengan Sayyid Usman, warga Batavia yang bermukim sementara di Mekkah, Beliau menginformasikan bahwa orang-orang Aceh adalah penganut Islam yang fanatik, mereka akan puas jika seluruh pemerintah dalam negeri diatur oleh tokoh yang beriman meskipun di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selama tujuh bulan berada di Mekkah, tujuan dan status Snouck mulai diketahui pemerintah setempat setelah dihasut oieh wakil konsul Prancis. Masyarakat Mekkah pun telah mengetahui berita-berita pers di dunia barat yang menyatakan bahwa Snouck bukanlah seorang muslim, melainkan mata-mata pemerintah Belanda. Ia juga dituduh telah mencuri batu perhiasan sehingga tergesa-gesa meninggalkan kota
suci karena diusir pemerintah Arab Saudi.[3]
Meskipun diusir secara tidak hormat dari Mekkah, namun ia adalah Sarjana Belanda pertama yang berhasil memasuki kota suci yang terlarang bagi orang kafir itu. Sekembalinya dari Arab, Snouck mengajar kembali di Universitas Leiden selarna tiga tahun. Pada tahun 1887 ia diminta mengadakan penelitian di Batavia Schegenoot School Van Kusten Weterschappen atau Perhimpunan Bat (Indonesia) untuk mengumpulkan data tentang lembaga-lembaga Isiam di Jawa dan Madura, tetapi yang diutamakan data memasuki daerah Aceh yang telah lama diduduki oleh Belanda, namun belum dapat terkalahkan.[4]
2.      Pelaksanaan Politik Chiristian Snouck Hurgronje
Situasi politik yang terjadi di berbagai daerah di Aceh membuktikan bahwa perlawanan rakyat Aceh sangat sukar dikalahkan oleh Belanda. Akhirnya pemerintah Belanda menempuh berbagai macam cara untuk menngetahui rahasia politik dan kekuatan rakyat Aceh dengan mengutus Snouck Hugronje. Sebelumnya memang Snouck sudah mengetahui situasi dan kondisi Aceh baik faktor politik, sosial, maupun agama. Setibanya di Aceh Snouck menggunakan narna samaran seperti habib Putih Agam, Teuku mansyur, Abdul Al Ghaffan, dan Teuku Amin. Ia tinggal di tengah-tengah kehidupan rakyat di Peukan selama bulan Juli 1891 sampai Februari 1392.
Berkat kepandaian dalarn berbahasa Arab, fasih membaca Ai-Quran dan ahli dalam hukum Islarn maka Snouck mendapat sambutan yang baik dari rakyat Aceh. Khususnya kaum ulama. Dalam kehidupan sehari-hari selalu mendapat kesempatan untuk berceramah di surau-surau atau masjid dengan memutar balikkan ajaran agama dan meperdebatkan perbedaan mazhab. Ia juga membesar-besarkan kekuatan Belanda yang sudah menggunakan persenjataan yang lengkap dan modern. Kesempatan ini juga digunakan oleh Snouck untuk mengadu domba antara raja dengan kaum ulama dan sesama kaum ulama .[5]
Di lain pihak sering terjadi perselisihan paham antara pemirnpin pemerintahan Belanda dengan para prajurit mengenai kebijaksanaan pemerintah Belanda dalarn menghadapi perlawanan dan perjuangan rakyat Aceh. Perselisihan itu disebabkan telah banyaknya komandan tentara dan Gubernur Militer yang diganti maupun dipecat dalam waktu singkat. Untuk mengatasi hal itu Snouck berpendapat bahwa kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap Islarn harus bersifat terbuka untuk mengalahkan kaum muslim di Aceh. Masalah agama dan politik harus dipisahkan. Snouck juga rnenyalahkan pemerintahnya yang selalu ketakutan terhadap Islam, karena pemerintah Belanda belum mengetahui bahwa agama Islam yang dianut oleh orang Aceh tidak terlepas dari pengaruh di luar ajaran agama Islam. Mereka tidak hanya setia kepada agamanya, tetapi setia pula kepada hukum adat setempat.[6]
Melihat situasi yang semakin sengit akhirnya Snouck memperingatkan pemerintah Belanda agar jangan rnengadakan kontak dengan musuh yang aktif trutama jika mereka terdiri dari kaum ulama. Menurut kedudukan Sultan di Aceh tidak berpengaruh sama sekali terhadap perjuangan rakyat, namun kaum ulama lah yang memegang kendali semangat dan motivasi perjuangan rakyat Aceh. Oleh karena itu, tidak ada istilah damai dengan kaum ulama. Untuk menghancurkan semangat perjuangan rakyat Aceh ditempuh politik sandera dan politik devide et impera atau memecah belah kaum ulama dan kaum bangsawan. Keluarga raja dan kaurn bangsawan diberi kedudukan dan pangkat, gaji yang besar, anak anak dan keluarganya di sekolahkan di sekolah-sekolah Belanda. Kaum ulama harus dikejar dan ditangkap atau dibunuh untuk menghilangkan semangat perjuangan rakyat. Rakyat Aceh tak akan patuh kepada pemerintahan Belanda apabila mereka ditaklukkan dengan senjata.[7]
3.      Perlawanan Rakyat Aceh
Melihat situasi yang demikian memanas, pemerintah Belanda berusaha mencegah agar kaum ulama tidak menduduki lembaga-lembaga pemerintahan karena golongan ini mempunyai hubungan erat dengan rakyat sehingga mereka mampu mengerahkan dan memimpin rakyat. Disarnping itu pemerintah Belanda harus membatasi gerak dan pengaruh Islam melalui asimilasi kebudayaan dan kristenisasi dengan kaum bangsawan untuk dididik dengan pendidikan barat. Maksud Snouck ini untuk menjalin hubungan antara Belanda dengan Hindia Belanda yang berbeda kultur karena dengan adanya itu kedua belah pihak akan mengarah pada persatuan.[8]
Bulan Maret 1896 rnerupakan titik balik bagi perjuangan rakyat Aceh. Dalam pertempuran di Aneuk Galong pejuang Aceh banyak yang gugur dan tertawan, tetapi mereka tidak mengenal menyerah, masih terus mengadakan perlawanan. Pada saat kekalahan yang beruntun dan perjuangan dirasakan semakin terdesak, maka pada bulan November 1897 sultan mengadakan musyawarah untuk mempertahankan daerah Pidie. Saat itu Teuku Urnar segera menggabungkan diri dengan Panglirna Polem dan para Sultan Aceh. Ternyata hal ini diketahui oleh Snouck dan Van Heutz. Mereka berdua menggerakkan pasukannya untuk menyerang Pidie karena para pemimpin Aceh ada di daerah tersebut. Desakan dan serbuan pasukan Marsose tidak dapat dikalahkan sehingga beberapa pemimpin di daerah Pidie menyerah kepada Belanda. Teuku Umar menyingkir di Daya Hulu,  Aceh Besar dan Panglirna Polem ke Aceh.[9]
Kondisi perjuangan rakyat Aceh semakin terdesak, Sultan dan Panglima Polem mendirikan markas pertahanan di Kutasawang, Aceh Utara yang dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk menyerang Belanda. Akhirnya daerah itu dapat direbut oleh pasukan Belanda. Di Aceh Barat, Teuku Umar memperkuat pasukan untuk mengadakan penyerangan ke Meulaboh, tetapi Belanda mengetahui rencananya. Pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda menyerang rnarkas pertahanan Teuku Umar sedangkan istrinya Cut Nyak Dhin menyingkir ke pedalaman untuk melanjutkan perjuangan suaminya. Pada bulan November
1899 Sultan terpaksa mengundurkan diri ke bukit Keuretoe, sedangkan Panglima Polem melarikan diri ke pegunungan sebelah selatan Lembah Pidie Menjelang tahun 1900 sekitar 82 ulubalang di daerah Aceh telah menandatangani Korte Verklaring atau perjanjian pendek yang isinya antara lain menyatakan:
"setiap daerah taklukan harus mengakui kekuasaan Belanda dan tunduk kepada Gubernur militer aceh. Daerah taklukan dilarang berhubungan dengan bangsa asing" .[10]
Maka seluruh pasukan Marsose dikerahkan sepenuhnya untuk mengadakan pengejaran terhadap pasukan Panglima Polem, karena tempat persembunyiannya telah diketahui oleh pasukan Marsose dan telah berhasil menawan ibu, istri, serta anak-anaknya. Peristiwa ini menyebabkan Panglima Polem dan sisa pasukannya yang berjumlah l50 orang terpaksa menyerah kepada Belanda dalam bulan September 1903.
Kenyataan ini menyebabkan perjuangan rakyat Aceh semakin terdesak dan memberikan peluang bagi pemerintah Belanda untuk menguasai seluruh wilayah kerajaan Belanda. Hal ini tidaklah membuat perjuangan rakyat menentang Belanda berakhir sama sekali namun perjuangan rakyat masih tetap berlangsung. Para pemimpin adat dan kaum ulama masih tetap mengadakan perlawanan dan mernilih mati syahid daripada menyerah. Ini adaiah satu-satunya daerah pertahanan rakyat yang belum dikuasai oleh pasukan Marsose. Dengan dikuasainya benteng yang terakhir oleh pasukan Marsose, maka seluruh wilayah Aceh berada dalam naungan kekuasaan Belanda. Meskipun pada teori politik Snouck berhasil dalam menundukkan perjuangan rakyat Aceh, namun pada kenyataannya perjuangan rakyat Aceh masih tetap berlangsung secara bergerilya hingga pendudukan Jepang pada tahun 1942.[11]



[1] Yayasan Al-Hikmah, jurnal dua bulanan Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 49 THN,  Jakarta: PT Tomasu, XI 2000, hlm. 60.
[2] Criksetra: Jurnal Pendidikan dan Kajian Sejarah, volume 3 nomor 4 agustus 2013, 3408-50
[3] C. Snouck Hugronje, Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhatara,1973, hlm. 8
[4] M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda, Jakarta: Balai Pustaka, 1983, hlm. 104
[5] Ibid,
[6] M T. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987, hlm. 88
[7] Zakaria Ahmad, Cut Nyak Meutia, Jakarta: Manggala Bhakti,1993, hlm. 9
[8] Op, Cit, Deliar Noer, 1982, hlm. 26
[9] Nugroho Notosusanto dkk, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 259
[10] Mr. Hardi, Menarik Pelajaran dari Sejarah, Jakarta: Haji Masagung, 1988, hlm. 94
[11] Op, Cit, Nugroho Notosusanto dkk  1983, hlm. 260

Problematika Pengelolaan Zakat Di Provinsi Sumatera Utara. (Studi terhadap pelaksanaan UU No: 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat).

BAB I
A.    Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama kesejahteraan, karenanya Allah mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya dalam rangka merealisasikan kesejahteraan umatnya di seluruh persada alam ini. Islam begitu sangat serius untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan umat manusia. Karena memang persoalan ekonomi manusia akan dapat mempengaruhi sikap teologis yang diambil. Kefakiran akan dapat menggeser tingkat teologis seseorang menuju kekufuran. Zakat sendiri sesungguhnya menjadi instrumen penting dan mendasar bagi kesejahteraan dan keadilan ekonomi umat manusia. Zakat dihukumkan wajib bagi umat Islam yang telah memenuhi unsur persyaratan sebagai muzakki (orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat). Ketentuan wajib tersebut menjadikan institusi zakat cukup signifikan untuk menekan lebih jauh angka kemiskinan masyarakat.
Zakat sebagai ibadah maliyah ijtima iyyah, memiliki posisi yang penting, strategis, dan menentukan baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.[1] Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadis Nabi saw., sehingga eksistensinya dianggap ma’lum min al-din bi al-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang, demikian Ali Yafie menegaskan.[2]
Zakat pada zaman Nabi Muhammad Saw. menjadi salah satu dari sumber pembiayaan Negara. Seperti dijelaskan oleh Qutb Ibrahim Muhammad dalam Siyasah al-Maliyah li al-Rasul, sebagian sumber pemasukan dialokasikan oleh Allah untuk berbagai aspek pembiayaan tertentu, di antaranya adalah sumber pemasukan dari zakat. Allah telah mengalokasikan zakat ini untuk kaum fakir, miskin, amil zakat, muallaf, pembebasan budak, orang yang terlilit hutang, orang yang berjuang di jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil). Dengan demikian, tidak boleh menggunakan zakat untuk selainnya, sebagaimana hal itu berlaku pula pada sumber pemasukan Negara lainnya yang tidak dialokasikan untuk berbagai aspek pembiayaan tertentu.[3]
Mengenai pelaksanaan zakat ini, dapat dilihat dalam dasar hukumnya yang disebutkan pada QS al-Taubah {9}: 60:
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
Di samping ayat tersebut, landasan tentang pelaksanaan zakat ini dapat dilihat dalam QS al-Taubah {9}: 103:
103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Bila dilihat dalam QS al-Taubah {9}: 60 di atas, maka disebutkan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah orang-orang yang mengurus urusan zakat yakni amil (al-‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam QS al-Taubah {9}: 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat. Oleh sebab itu pula pada zaman Rasulullah Saw. beliau mengutus beberapa sahabat sebagai amil ke beberapa daerah. Pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah Saw. mengirim para amil zakat di semua negara yang ditaklukkan Islam. Beliau mengirim Muhajir bin Abu Umayyah dari al-Mugfhirah ke Shan’a, Ziyad bin Labid, saudaranya bani Bayadhah al-Anshari ke Hadramaut, Adi bin Hatim ke Thay, Asad dan Malik bin Nuwairah ke Bani Hanthalah ke wilayah Bani Saad, Rasul mengirim dua orang amil ke wilayah Bahrain diutus al Ala bin al-Hadrami. Ali bin Abu Thalib ke Najran untuk mengumpulkan zakat dan memberikan pula kepada Rasulullah jizyah mereka. Rasulullah mengangkat Khalid bin Said bin al-Ash sebagai amil zakat di Murad, Zabid dan Madzhaj.[4] Demikian pula pada masa khulafaur rasyidin, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur urusan zakat, dari masalah pengumpulannya hingga pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki kewajian berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahiq zakat, menunjukkan kewajiban zakat bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi juga suatu kewajiban yang juga bersifat otoritatif (ijabari).[5]
Ada beberapa keuntungan pengelolaan zakat dilakukan oleh lembaga pengelola zakat, yaitu antara lain : pertama: untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua: untuk menjaga perasaan rendah diri pada mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat langsung dari muzakki. Ketiga: untuk mencapai efektifitas dan efisiensi, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat: untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat pengelenggaraan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah sah, akan tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.
Dalam sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, pembentukan peraturan perundang-undangan zakat, merupakan proses perjalanan yang ironik. Zakat dalam fikih termasuk bagian dari fikih ibadah. Kebijakan pemerintah (penjajah dan nasional) dalam bidang ibadah, adalah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya. Snouck, misalnya mengisyaratkan bahwa ibadah umat Islam itu harus didukung dan bahkan difasilitasi, sedangkan yang tidak boleh didukung adalah Islam politik. Hingga saat ini, hampir tidak pernah ditemukan pernyataan atau ketentuan, baik dalam khazanah fikih klasik maupun dalam bidang fikih kontemporer tentang posisi zakat dalam konteks hukum perseorangan (privat) dan publik. Pembagian ini (publik dan private) cukup penting untuk dipertimbangkan, mengingat ada perbedaan implikasi.
Di Indonesia, sejak tahun lima puluhan terdapat usaha-usaha untuk mengatur zakat dengan undang-undang, tetapi belum berhasil. Dengan demikian sampai tahun 1968 zakat tetap dilaksanakan umat Islam secara perorangan atau melalui para kyai, guru-guru ngaji dan juga lembaga-lembaga keagamaan/organisasi Islam dan belum ada suatu badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengurusi zakat (kecuali di Aceh sejak tahun 1959). Pada tahun 1968, melalui Pidato Peringatan Isra Mi’raj di Istana Negara pada tanggal 26 Oktober 1968, Presiden RI menganjurkan pelaksanaan zakat secara lebih intensif untuk menunjang pembangunan Negara. Beliau sendiri menjadi Amil Zakat tingkat nasional. Seruan Presiden tersebut sangat besar artinya bagi pelaksanaan zakat di Indonesia, karena beberapa Gubernur/Kepala Daerah kemudian mengeluarkan Surat Keputusan untuk membentuk Badan Amil Zakat di daerahnya masing-masing.[6]
Seiring dengan semangat transformasi hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Nasional yang di antaranya dapat dilihat dengan lahirnya Undang-Undang No: 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan juga lahirnya Kompilasi Hukum Islam dengan payung hukum Inpres No: 1 tahun 1991 dan keputusa Menteri Agama No: 154 tahun 1991, pada tahun 1991 juga terbitlah Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia No: 29 tahun 1991/47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah yang selanjutnya disingkat BAZIS adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat infaq dan shadaqah secara berdayaguna dan berhaasil guna (Pasal 1 ayat a). Bazis ini bersifat mandiri dan mempunyai kepengurusan yang terdiri dari unsur ulama, cendikiawan dan tokoh masyarakat formal dan nonformal yang beragama Islam, sebagai pembina maupun sebagai pelaksana (Pasal 7 ayat 1). BAZIS bersifat mandiri dan mempunyai kepengurusan yang keberadaannya diberitahukan kepada dan dikukuhkan oleh Pemerintah Daerah setempat, serta menetapkan program yang tidak bertujuan mencari keuntungan, melainkan untuk kepentingan sosial masyarakat (Pasal 5).[7]
Pada perkembangan selanjutnya tentang zakat lahirlah regulasi yang lebih jauh tentang pengelolaan zakat, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No: 38 tahun 1999 Pengelolaan Zakat dan dilanjutkan dengan lahirnya Keputusan Menteri Agama (KMA) No: 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No: 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No:d/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Dalam Bab II Pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan :
1.      Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2.      Meningkatkan fungsi dan peranan keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3.      Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Dalam Bab III Undang-Undang No: 38 tahun 1999 tersebut dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari 2 jenis, yaitu Badan Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Badan Amil Zakat terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu (pasal 6 ayat 4). Berbeda dengan Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat (penjelasan pasal 7 ayat 2).[8]
Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat dan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12, dan pasal 11 undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,-.[9]
Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakat kepada lembaga pengelola zakat.
Mengingat adanya dua jenis kelembagaan tim pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ), maka dengan sendirinya memberikaan ruang yang luas kepada masyarakat, di luar lembaga pemerintah untuk ikut berpartisipasi mengembangkan sumber daya zakat. Menjamurnya Lembaga Amil Zakat yang ada membuat masyarakat memiliki pilihan untuk menyalurkan zakatnya dengan tidak hanya kepada satu lembaga.
Provin Sumatera Utara, sebagai salah satu provinsi di Indonesia, merupakan salah satu parameter bagaimana regulasi zakat sebagaimana yang diamanahkan oleh undang-undang zakat tersebut dapat berjalan secara efektif atau tidak. Sebagai provinsi besar dengan perputaran roda perekonomian yang pesat, maka potensi zakat sangat signifikan untuk dikaji. Di Provinsi Sumatera Utara sendiri terdapat berbagai lembaga pengelola zakat seperti Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Medan, Rumah Zakat, Dompet Peduli Waspada, Dompet Dhu’afa dan lainnya. Andai potensi zakat ini dapat dikelola dengan baik oleh para pengelola zakat, tentu banyak hal dapat dikembangkan secara sosial dan ekonomi. Berdasarkan data dari Badan Informasi dan Komunikasi Provinsi Sumatera Utara, bahwa memiliki kapasitas ekonomi yang cukup besar yang ditunjukkan lewat nilai (uang) PDRB Sumatera Utara triwulan I tahun 2015 atas dasar harga berlaku mencapai Rp.138.019,78 milyar. Jumlah volume kegiatan ekonomi ini, sekaligus memberikan kontribusi lebih kurangnya pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 23,26 persen, industri pengolahan sebesar 19,37 persen serta perdagangan besar dan eceran dan reperasi mobil dan sepeda motor sebesar 17,58 persen. Dari sisi pengeluaran, diperoleh dari komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) sebesar 54,17 persen, komponen Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB) sebesar 30,99 persen dan komponen pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 6,38 persen.[10] Sementara itu dari jumlah penduduk sebanyak Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990, penduduk Sumatera Utara berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara telah meningkat menjadi 12,98 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara pada tahun 1990 adalah 143 jiwa per km² dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 178 jiwa per km². Dengan Laju Pertumbuhan Penduduk dari tahun 2000-2010 sebesar 1,10 persen dengan penduduk muslim sebanyak 8.579.830 jiwa atau 66,09 % dari jumlah keseluruhan.[11] Oleh sebab itulah, berangkat dari berbagai persoalan di atas, maka penulis akan melakukan penelitian yang berjudul Problematika Pengelolaan Zakat Di Provinsi Sumatera Utara. (Studi terhadap pelaksanaan UU No: 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat).

B.    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi masalah pokok adalah: Bagaimanakah Problematika Pengelolaan Zakat di Provinsi Sumatera Utara. Secara spesifik, uraian lebih detail dari masalah pokok di atas adalah :
1.      Bagaimana manajemen pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara?
2.      Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengelolaan zakat?
3.      Bagaimana koordinasi antar lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara?
4.      Bagaimana pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara ditinjau dari Undang-Undang No: 23 tahun 2011 tentang zakat?

C.    Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Efektifitas Pengelolaan Zakat di Provinsi Sumatera Utara. Secara spesifik, maka uraian tujuan tersebut lebih detailnya adalah untuk :
1.      Menjelaskan bagaimana manajemen pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara.
2.      Mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengelolaan zakat.
3.      Menjelaskan koordinasi antar lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara.
4.      Mengetahui pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara ditinjau dari Undang-Undang No: 23 tahun 2011 tentang zakat.

D.    Kegunaan Penelitian
Secara formal, penelitian ini berguna sebagai pemenuhan tugas dalam rangka penyelesaian tugas akhir untuk mendapatkan gelar magister pada Program Pascasarjana UIN SU Program Studi Hukum Islam. Di samping itu, penelitian berguna sebagai bahan akademik kepada masyarakat, Pemerintah provinsi, lembaga-lembaga amil zakat, dan para akademisi untuk mengetahui bagaimana sistem pengelolaan zakat di Provinsi Sumatera Utara. Lebih jauh penelitian ini, menjadi masukan untuk mengevaluasi aplikasi pengelolaan zakat di lapangan, hingga zakat diharapkan mampu menjadi pilar dalam menumbuhkan perekonomian masyarakat.

E.    Batasan Istilah
1.      Problematika
Problematika adalah berbagai problem.
2.      Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara adalah nama salah satu provinsi terbesar di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa. Ia merupakan salah satu provinsi dari pulau Sumatera.

F.     Kerangka Teori
Dalam mempelajari hukum, pemahaman mengenai “law in action” sama pentingnya dengan pengetahuan mengenai “law in books”. Anggapan utama yang menjadi pegangan di mana-mana adalah bahwa struktur normatif hukum perundang-undangan merupakan pencerminan dari berbagai hukum sebenarnya beroperasi. Anggapan ini didasarkan pada asumsi bahwa para pejabat kurang kreatif di dalam menciptakan hukum dan dalam menerapkan hukum, para pejabat hanya menyatakan bahwa pemerintahan dijalankan dengan hukum dan bukan oleh orang-orang.[12]
Roscoe Pound –pelopor aliran Sosiological Jurisprudence- berpandangan bahwa hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau merupakan suatu tertib hukum saja, akan tetapi hukum juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Untuk menjelaskan pandangannya ini Roscoe Pound mengemukakan konsep social engineering. Menurutnya fungsi hukum adalah melakukan social engineering di dalam masyarakat, sedangkan hukum merupakan social-machinery yaitu suatu alat sosial.[13] Dalam melakukan ssocial engineering hukum harus diperkembangkan terus menerus agar selalu sesuai selaras dengan nilai-nilai sosial yang berubah-ubah.[14]
Satjipto Rahardjo dalam bukunya Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, menyatakan bahwa hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan  perubahan-perubahan yang diinginkan.[15] Mengikuti pemikiran Hart, -seperti juga dikutip oleh Satjipto Rahardjo-, maka penyelenggaraan hukum dalam masyarakat itu bisa berbeda dan untuk itu ia mengajukan dua model struktur masyarakat. Yang pertama adalah yang mempunyai susunan sederhana dengan sistem kontrol sosial yang tidak mempunyai bentuk-bentuk yang jelas, melainkan sekedar berupa sikap umum yang terdapat pada para anggota masyarakat untuk mengikatkan diri pada pola-pola tingkah laku standar. Pada masyarakat model yang kedua, di situ sesuai dengan tingkat kompleksitas masyarakatnya dapat dijumpai bentuk-bentuk penyelenggaraan hukum yang jelas dan terperinci.[16]
Keberadaan hukum dan masyarakat pada gilirannya menjadi dua aspek yang saling memberikan pengaruh satu dengan lainnya. Oleh sebab itu upaya penemuan, pembuatan hingga penerapan suatu hukum haruslah melihat secara teliti terhadap perkembangan dan perubahan sosial yang ada. Jangan hendaknya kita mengubah suatu sistem karena hanya ingin sesuatu yang baru tanpa mempertimbangkan manfaat dan resikonya.
Smelser menyebutkan ada 4 hal yang terdapat dalam aksi-aksi sosial pada setiap masyarakat yaitu :
1.      Nilai-Nilai.
2.      Norma-Norma.
3.      Mobilisasi motivasi perseorangan untuk aksi yang teratur dalam peran-peran kolektivitas.
4.      Fasilitas situasional atau informasi, keterampilan, alat-alat, dan rintangan dalam mencapai tujuan-tujuan yang kongkrit.[17]
Pengelolaan zakat di Provinsi Sumatera Utara tentunya bukanlah suatu aksi yang berdiri sendiri. Di samping payung hukum yang telah mengaturnya situasi sosial masyarakat dan kesiapan lembaga secara profesional dan juga amanah, sangat mempengaruhi bobot efektifitasnya. Provinsi Sumatera Utara dengan variasi masyarakat dari segi pendidikan, suku, agama, ekonomi dan sebagainya cukup beragam, menjadikan masyarakat urban ini lebih selektif dalam menentukan pilihan-pilihannya. Akhirnya tidak jarang umat Islamnya lebih ingin untuk menyalurkan zakatnya secara personal dari pada institusional. Dari sisi payung hukumnya sendiri, meskipun pengaturan tentang zakat telah diatur pada level undang-undang, namun secara substansial belum mampu menjadikan zakat sebagai institusi keislaman yang efektif. Dari segi sanksi misalnya undang-undang ini baru menyentuh pada sisi pengelolanya, belum pada tahap muzakkinya.

G.  Kerangka Konsepsional
1.   Pengertian Zakat
2.   Latar Belakang / Hikmah Disyariatkannya Zakat
3.   Dasar Hukum Zakat

4.   Syarat Muzakki (Orang yang wajib berzakat)
1)     Dimiliki secara sempurna.
2)     Termasuk harta yang berkembang.
3)     Telah mencapai nishab.
4)     Telah mencapai satu haul.
5)     Kelebihan dari kebutuhan pokok.
5.   Mustahiq Zakat (Orang Yang Berhak Menerima Zakat)
6.   Sejarah Perkembangan Zakat.
a.      Pada masa Rasulullah SAW.
b.      Perzakatan di Indonesia.
1)     Pengelolaan zakat sebelum kemerdekaan
2)     Pengelolaan zakat di Awal  kemerdekaan
3)     Pengelolaan Zakat Sebelum Tahun 90-an.
4)     Pengelolaan Zakat Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.
7.   Syarat-Syarat Wajib Zakat.
8.   Harta yang Wajib di Zakati
9.   Dasar Hukum Zakat Profesi
10.    Pengaturan  Tentang  Pendistribusian  Zakat  Setelah  Lahirnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.

H.    Hipotesis
Dari pemaparan di atas maka dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa pengelolaa zakat di Provinsi Sumatera Utara belum optimal sesuai dengan UU No: 23 tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, karena banyak faktor diantaranya undang-undang yang belum utuh untuk mencakup aspek pengelolaan zakat, di samping aspek profesional lembaga dan tingkat kepercayaan masyarakat yang masih rendah.


I.      Kajian Terdahulu
Kajian seputar zakat sebenarnya banyak telah dibahas oleh para penelitian dan ilmuwan. Yusuf Al-Qaradhawi misalnya dengan  karya monumentalnya telah menulis buku yang berjudul Fiqh al-Zakah, yang dalam edisi Indonesia berjudul Fikih Zakat. Dalam Kitab ini penulis telah menjelaskan konsep zakat dengan panjang lebar, dari persoalan landasan normative, filosfis, hingga hal-hal teknis tentang apa dan bagaimana zakat tersebut. Selain itu, dengan pengarang yang sama telah menulis karya dengan judul Dauru al-Zakat, fi Ilaj al-Muyskilat al-Iqtishadiyah, dalam edisi Indonesia berjudul Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan. Dalam buku ini mencakup dua pembahasan besar. Pertama, merupakan pembahasan yang sebenarnya disiapkan penulis untuk disampaikan di seminar internasional tentang perekonomian Islam yang dilaksanakan di pertengahan tahun tujuh puluhan di Makkah, Saudi Arabia; dengan penyelenggara Universitas Malik Abdul Aziz, yang diikuti banyak dari ulama syari’ah dan juga para ahli ekonomi di penjuru dunia. Pembahasan-pembahasan yang ada di seminar ini lalu dipublikasikan di majalah yang telah dipilih, termasuk diantaranya pembahasan pembahasan tentang peran zakat dalam mengatasi permasalahan ekonomi dalam masyarakat. Kedua, pembahasan tentang faktor-faktor utama yang menunjang keberhasilan administrasi zakat di setiap masyarakat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan Islam darinya, serta utnuk mengatasi segala permasalahan yang ada dalam masyarakat. Pembahasan inipun sebenarnya adalah pembahasan yang penulis siapkan untuk Bank el-Islamiy Lit-Tanmiyah (Bank Islam Untuk Pembangunan) di Jeddah.
Selain itu terdapat pula penulis-penulis di Indonesiaa yang telah menguraikan tentang zakat, misalnya saja Teungku Muhammad Hasbi Asn Shiddieqy, Pedoman Zakat. Ali Yafie, dalam Menggagas Fikih Sosial, dan sebagainya.
Di Provinsi Sumatera Utara, pada waktu acara seminar: Interational seminar on Islamic Economics as Solution, pada tanggal 18-19 September 2005, yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), telah dimuat berbagai tulisan seputar zakat dalam Proceedings of International seminar on Islamic Economics as Solution, di antara tulisan tersebut adalah : Mustafa Edwin (Ketua Umum DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam –IAEI) dan Yusuf (Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Komisariat UI), Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan di Era Otonomi Daerah. M. Jufri : Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) (Wujud konsep Ekonomi Kerakyatan Islam). Irfan Syauqi Beik (Dosen Ekonomi Syari’ah Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB) dan Didin Hafiduddin (Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia), Zakat dan Pembangunan Perekonomian Umat. Hasan Aedy, Peranan Pemerintah dan Ulama dalam Pengelolaan Pajak, Zakat dan Wakaf Untuk Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Ekonomi Umat.
Dalam bentuk penelitian akademik misalnya Sjaikhul Hadi Permono, Pola Pemikiran Zakat : Badan Amil Zakat Infaq/Shadaqah (BAZIS) Daerah Khusus Ibu Kota. Namun, dari kesemua khazanah intelektual di atas belum ada yang membahas tentang zakat di era undang-undang zakat khususnya di Provinsi Sumatera Utara dan secara lebih spesifik penelitian terhadap lembaga dan badan amil zakat yang ada di Provinsi Sumatera Utara.

J.     Metode Penelitian
1.        Objek dan Jenis Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah Badan Amil Zakat Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga Amil Zakat se- Provinsi Sumatera Utara khususnya Rumah Zakat, Dompet Peduli Waspada, Dompet Dhu’afa, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di Provinsi Sumatera Utara dengan spesifikasi kajian berupa penelusuraan terhadap pengelolaan zakat yang dilaksanakan di dalamnya apakah berlaku efektif atau tidak. Di lihat dari jenisnya, maka penelitian ini termasuk wilayah penelitian lapangan (field research) karena penelitian ini melakukan studi kajian terhadap penerapan undang-undang zakat yang berlaku di Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat se- Provinsi Sumatera Utara khususnya Rumah Zakat, Dompet peduli Waspada, Dompet Dhu’afa, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.        Peta Keilmuan
Ditinjau dari peta keilmuannya maka penelitian ini berada dalam wilayah kajian hukum Islam. Penelitian ini akan menggali lebih jauh penerapan Undang-Undang No 23 tahun 2011 tentang pengelolaa zakat yang berlangsung di satu daerah –Provinsi Sumatera Utara-, yang dalam ilmu-ilmu keislaman, kajian ini berada dalam wilayah studi hukum Islam.

3.        Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosiologis (sociological approach) dan legalistik (legal approach). Karena penelitian ini melakukan telaah terhadap apa yang berlangsung di lingkungan Badan Amil Zakat Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga Amil Zakat se- Provinsi Sumatera Utara khususnya Rumah Zakat, Dompet Peduli Waspada, sangat terikat dan dengan kondisi sosial dan budaya hukum masyarakat khususnya dalam institusi yang bersangkutan, disamping itu karena aspek peraturan perundang-undangan menjadi komponen yang tidak terpisahkan maka penelitian ini juga melihat dari sudut perjalanan yuridisnya.

4.        Pengumpulan Data
Salah satu kunci utama dari sebuah penelitiaan adalah bagaimana mengumpulkan data-data yang diperlukan yang berhubungan dengan masalah penelitian yang dimaksud. Adapun jangka waktu yang akan dilihat dari efektivitas lembaga ini adalah selama tahun 1999 hingga tahun 2015. Dalam proses pengumpulan data, maka penelitian ini membagi kepada tiga skala prioritas yaitu data primer, sekunder dan tersier. Data Primer yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan zakat, seperti Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, serta hasil pandangan dan pemikiran para fungsionaris kelembagaan zakat baik Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) se- Provinsi Sumatera Utara, baik melalui wawancara maupun angket. Disamping itu pandangan masyarakat Provinsi Sumatera Utara juga termasuk sebagai data primer yang menurut sensus terakhir berjumlah + 12,98 juta jiwa yang tersebar pada 33 kabupaten/kota se-Provinsi Sumatera Utara.[18] Mengingat begitu luas dan banyaknya kabupaten/kota yang sebagai populasi nya, maka penelitian tidak  mengambil keseluruhannya, tapi hanya mengambil beberapa orang di semua golongan masyarakat seperti: Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengusaha, pedagang, alim ulama, dosen, guru, dan masyarakat lainnya, yang berada di 5 kabupaten/kota sebagai sampel yang dianggap mewakili semua persoalan. Jumlah penduduk yang dijadikan sampel sebanyak 500 orang. Adapun kabupaten/kota yang akan diteliti adalah: Kota Medan, Kota Pematang Siantar, Kota Kisaran, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang. Termasuk yang merupakan data primer penelitian ini adalah Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan pembahasan ini.
Adapun data sekunder yang dimaksud dari penelitian ini adalah berbagai buku atau jurnal dan berbagai tulisan lain yang membincangkan pembahasan dimaksud, dan data tersiernya adalah berbagai buku dan karva yang ada hubungannya secara tidak langsung dengan penelitian ini berfungsi sebagai data pelengkap.

5.        Analisis Data
Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka tahapan berikutnya adalah melakukan analisa data. Dalam penyajiannya penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan analisa data menggunakan metode analisis isi mengingat data ini bersifat deskriptif.

K.    Sistematika Pembahasan
Penulisan laporan penelitian ini dibagi ke dalam 6 (enam) bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab Pertama : merupakan pendahuluan. Bab ini berisi disain penelitian, yang menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan istilah, kerangka teori, hipotesis, kajian-kajian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua : merupakan pengenalan terhadap manajemen pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat di kota medan, yang terdiri dari, pelembagaan amil zakat dalam perundang-undangan Indonesia, profil lembaga-lembaga amil zakat di Kota Medan yang komponennya adalah: Bazda Sumatera Utara, Lembaga Amil Zakat (LAZ) Waspada, Al-Hijrah, Dompet Dhu’afa, Rumah Zakat, dan pada bagian akhir pada bab ini akan membahas tentang pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat di Kota Medan.
Bab Ketiga : membahas tentang faktor-faktor penunjang dan penghambat dalam pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat di Kota Medan, yang terdiri dari faktor penunjang, yang meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Selanjutnya faktor penghambat yang meliputi faktor internal dan faktor eksternal.
Bab Keempat : membahas efektifitas pengelolaan zakat oleh LAZ Kota Medan, yang akan menguraikan : sikap masyarakat muslim terhadap eksistensi Lembaga Amil Zakat di Kota Medan, sikap masyarakat muslim Kota Medan terhadap pengelolaan zakat oleh LAZ, pandangan masyarakat muslim Kota Medan terhadap efektifitas LAZ Kota Medan dalam peningkatan ekonomi umat Islam.
Bab Kelima : adalah bab penutup, yang akan menyajikan kesimpulan, saran dan rekomendasi.



[1] Yusuf Al-Qaradhawi, al-Ibadah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 235.
[2]Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), h. 231.
[3]. Qutb Ibrahim Muhammad, Siyasah al-Maliyah li al-Rasul, edisi Indonesia: Bagaimana Rasulullah mengelola Ekonomi, Keuangan dan Sistem Administrasi, pen. Rusli, (Ciputat; Gaung Persada Press, 2007), h. 231.
[4]Qutb Ibrahim Muhammad, Siyasah al-Maliyah li al-Rasul, ibid. H. 241.
[5] Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (t.tp; t.p, 1998), h. 85.
[6] Sjaikhul Hadi Permono, Pola Pemikiran Zakat: Badan Amil, Infaq/Shadaqah (BAZIS) Daerah Ibu Kota Jakarta, (Jakarta: Tesis pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1984), h. 5.
[7] Lihat. Departemen Agama Republik Indonesia: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Pedoman Pembinaan Bazis: Hasil Pertemuan Nasional BAZIS se-Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 1992), h. 107-114.
[8] Pusat Riset Informasi dan Ekonomi Syariah (PRIDES), Kompilasi Perundang-Undangan tentang Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2008), h.177-193
[9]Ibid. h. 177.
[10] http://sumut.bps.go.id/frontend/Brs/view/id/69, pada waktu, 17 oktober 2016, jam 15:09 wib
[12] Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat (Bandung: Alumni, 1985), h. 38
[13] Ibid. h. 26.
[14] Ibid. hlm. 27.
[15] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 142.
[16] Lihat H.L.A. Hart, The Concept of Law (London, Oxford University, 1972), hlm. 89-97. Pendapat ini dikutip pula oleh Satjipto Rahardjo, Ibid.
[17] Neil J. Smelser, Theory of Collective Bahaviour (New York: The Free Press, 1962), h. 9