zulkipliritonga
Jumat, 01 Oktober 2021
Sabtu, 29 Oktober 2016
SNOUCK HURGRONJE, makalah pasca uin su, medan
SNOUCK HURGRONJE DI INDONESIA
Di masa lalu, Aceh yang dikenal
dengan kota Serambi Mekkah dan juga memiliki kerajaan Islam Banda Aceh
Darussalam, lazimnya kerajaan besar yang berdasarkan landasan hukum Islam,
sehingga setiap orang harus patuh kepada adat dan hukum bersama-sama, oleh
karena mempunyai sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadis.[1]
Masa penjajahan kolonial Belanda tidak sedikit pejuang-pejuang Aceh berjuang
dalam mempertahankan negeri Aceh termasuk juga kaum wanita. Para pejuang-pejuang
tersebut antara lain : Panglima Polem, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak
Meutia, Teungku Cik Di Tiro dan lain-Lain. Para pejuang-pejuang ini berjuang
mati-matian demi negeri Aceh jangan sampai dimasuki oleh orang-orang-orang asing
yang akan merusak tatanan kehidupan rakyat Aceh terutama dari segi agama yang
mayoritas agama Islam. Snouck Hurgronje adalah orang Belanda yang pertama kali
ingin menundukkan dan menghancurkan rakyat Aceh. Politiknya diawali pada tahun 1885
dengan dalih pindah agama dari agama Nasrani keagama Islam dan bahkan ia
tinggal di Mekah. Bermukimnya Snouck di Mekkah dengan tujuan untuk mempelaiari
dan rnemperdalam ajaran agama Islam dan sekaligus menyelidiki warga pribumi
Hindia Belanda yang ada di kota Mekkah. Pada waktu Snouck sedang mengumpulkan
data-data tentang karakter masyarakat Aceh, Snouck mendapat kabar dari
orang-orang Belanda yang berada di Indonesia bahwa ribuan prajurit Belanda
tewas dalarn menghadapi perang Aceh (1873-1896). Atas peristiwa inilah Snouck ingin
membalas dendam dengan jalan apapun akan menundukkan dan menghancurkan rakyat
Aceh.[2]
1.
Awal Snouck Hurgronje Mengenal Aceh
Pada saat rnusim haji tiba Snouck
mendapat kesempatan bertemu jemaah haji dari Hindia Timur. Dari para jemaah
inilah ia mendapat keterangan mengenai situasi Perang Aceh yang sedang berlangsung
dan telah menewaskan ribuan prajurit Belanda. Pristiwa yang sangat penting
adalah pertemuan dengan Sayyid Usman, warga Batavia yang bermukim sementara di
Mekkah, Beliau menginformasikan bahwa orang-orang Aceh adalah penganut Islam
yang fanatik, mereka akan puas jika seluruh pemerintah dalam negeri diatur oleh
tokoh yang beriman meskipun di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selama
tujuh bulan berada di Mekkah, tujuan dan status Snouck mulai diketahui pemerintah
setempat setelah dihasut oieh wakil konsul Prancis. Masyarakat Mekkah pun telah
mengetahui berita-berita pers di dunia barat yang menyatakan bahwa Snouck bukanlah
seorang muslim, melainkan mata-mata pemerintah Belanda. Ia juga dituduh telah
mencuri batu perhiasan sehingga tergesa-gesa meninggalkan kota
suci karena diusir pemerintah Arab Saudi.[3]
Meskipun diusir secara tidak hormat
dari Mekkah, namun ia adalah Sarjana Belanda pertama yang berhasil memasuki
kota suci yang terlarang bagi orang kafir itu. Sekembalinya dari Arab, Snouck
mengajar kembali di Universitas Leiden selarna tiga tahun. Pada tahun 1887 ia
diminta mengadakan penelitian di Batavia Schegenoot School Van Kusten
Weterschappen atau Perhimpunan Bat (Indonesia) untuk mengumpulkan data tentang lembaga-lembaga
Isiam di Jawa dan Madura, tetapi yang diutamakan data memasuki daerah Aceh yang
telah lama diduduki oleh Belanda, namun belum dapat terkalahkan.[4]
2.
Pelaksanaan Politik Chiristian Snouck Hurgronje
Situasi politik yang terjadi di
berbagai daerah di Aceh membuktikan bahwa perlawanan rakyat Aceh sangat sukar
dikalahkan oleh Belanda. Akhirnya pemerintah Belanda menempuh berbagai macam
cara untuk menngetahui rahasia politik dan kekuatan rakyat Aceh dengan mengutus
Snouck Hugronje. Sebelumnya memang Snouck sudah mengetahui situasi dan kondisi
Aceh baik faktor politik, sosial, maupun agama. Setibanya di Aceh Snouck
menggunakan narna samaran seperti habib Putih Agam, Teuku mansyur, Abdul Al
Ghaffan, dan Teuku Amin. Ia tinggal di tengah-tengah kehidupan rakyat di Peukan
selama bulan Juli 1891 sampai Februari 1392.
Berkat kepandaian dalarn berbahasa
Arab, fasih membaca Ai-Quran dan ahli dalam hukum Islarn maka Snouck mendapat
sambutan yang baik dari rakyat Aceh. Khususnya kaum ulama. Dalam kehidupan
sehari-hari selalu mendapat kesempatan untuk berceramah di surau-surau atau
masjid dengan memutar balikkan ajaran agama dan meperdebatkan perbedaan mazhab.
Ia juga membesar-besarkan kekuatan Belanda yang sudah menggunakan persenjataan
yang lengkap dan modern. Kesempatan ini juga digunakan oleh Snouck untuk
mengadu domba antara raja dengan kaum ulama dan sesama kaum ulama .[5]
Di lain pihak sering terjadi
perselisihan paham antara pemirnpin pemerintahan Belanda dengan para prajurit
mengenai kebijaksanaan pemerintah Belanda dalarn menghadapi perlawanan dan
perjuangan rakyat Aceh. Perselisihan itu disebabkan telah banyaknya komandan
tentara dan Gubernur Militer yang diganti maupun dipecat dalam waktu singkat. Untuk
mengatasi hal itu Snouck berpendapat bahwa kebijaksanaan pemerintah Belanda terhadap
Islarn harus bersifat terbuka untuk mengalahkan kaum muslim di Aceh. Masalah
agama dan politik harus dipisahkan. Snouck juga rnenyalahkan pemerintahnya yang
selalu ketakutan terhadap Islam, karena pemerintah Belanda belum mengetahui bahwa
agama Islam yang dianut oleh orang Aceh tidak terlepas dari pengaruh di luar
ajaran agama Islam. Mereka tidak hanya setia kepada agamanya, tetapi setia pula
kepada hukum adat setempat.[6]
Melihat situasi yang semakin sengit
akhirnya Snouck memperingatkan pemerintah Belanda agar jangan rnengadakan
kontak dengan musuh yang aktif trutama jika mereka terdiri dari kaum ulama.
Menurut kedudukan Sultan di Aceh tidak berpengaruh sama sekali terhadap
perjuangan rakyat, namun kaum ulama lah yang memegang kendali semangat dan
motivasi perjuangan rakyat Aceh. Oleh karena itu, tidak ada istilah damai
dengan kaum ulama. Untuk menghancurkan semangat perjuangan rakyat Aceh ditempuh
politik sandera dan politik devide et impera atau memecah belah kaum ulama dan
kaum bangsawan. Keluarga raja dan kaurn bangsawan diberi kedudukan dan pangkat,
gaji yang besar, anak anak dan keluarganya di sekolahkan di sekolah-sekolah Belanda.
Kaum ulama harus dikejar dan ditangkap atau dibunuh untuk menghilangkan
semangat perjuangan rakyat. Rakyat Aceh tak akan patuh kepada pemerintahan
Belanda apabila mereka ditaklukkan dengan senjata.[7]
3.
Perlawanan Rakyat Aceh
Melihat situasi yang demikian
memanas, pemerintah Belanda berusaha mencegah agar kaum ulama tidak menduduki lembaga-lembaga
pemerintahan karena golongan ini mempunyai hubungan erat dengan rakyat sehingga
mereka mampu mengerahkan dan memimpin rakyat. Disarnping itu pemerintah Belanda
harus membatasi gerak dan pengaruh Islam melalui asimilasi kebudayaan dan
kristenisasi dengan kaum bangsawan untuk dididik dengan pendidikan barat.
Maksud Snouck ini untuk menjalin hubungan antara Belanda dengan Hindia Belanda
yang berbeda kultur karena dengan adanya itu kedua belah pihak akan mengarah
pada persatuan.[8]
Bulan Maret 1896 rnerupakan titik
balik bagi perjuangan rakyat Aceh. Dalam pertempuran di Aneuk Galong pejuang
Aceh banyak yang gugur dan tertawan, tetapi mereka tidak mengenal menyerah, masih
terus mengadakan perlawanan. Pada saat kekalahan yang beruntun dan perjuangan
dirasakan semakin terdesak, maka pada bulan November 1897 sultan mengadakan
musyawarah untuk mempertahankan daerah Pidie. Saat itu Teuku Urnar segera menggabungkan
diri dengan Panglirna Polem dan para Sultan Aceh. Ternyata hal ini diketahui
oleh Snouck dan Van Heutz. Mereka berdua menggerakkan pasukannya untuk
menyerang Pidie karena para pemimpin Aceh ada di daerah tersebut. Desakan dan serbuan
pasukan Marsose tidak dapat dikalahkan sehingga beberapa pemimpin di daerah
Pidie menyerah kepada Belanda. Teuku Umar menyingkir di Daya Hulu, Aceh Besar dan Panglirna Polem ke Aceh.[9]
Kondisi perjuangan rakyat Aceh semakin
terdesak, Sultan dan Panglima Polem mendirikan markas pertahanan di Kutasawang,
Aceh Utara yang dijadikan sebagai pusat pertahanan untuk menyerang Belanda. Akhirnya
daerah itu dapat direbut oleh pasukan Belanda. Di Aceh Barat, Teuku Umar
memperkuat pasukan untuk mengadakan penyerangan ke Meulaboh, tetapi Belanda
mengetahui rencananya. Pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda menyerang rnarkas
pertahanan Teuku Umar sedangkan istrinya Cut Nyak Dhin menyingkir ke pedalaman
untuk melanjutkan perjuangan suaminya. Pada bulan November
1899 Sultan terpaksa mengundurkan diri ke bukit Keuretoe, sedangkan
Panglima Polem melarikan diri ke pegunungan sebelah selatan Lembah Pidie Menjelang
tahun 1900 sekitar 82 ulubalang di daerah Aceh telah menandatangani Korte
Verklaring atau perjanjian pendek yang isinya antara lain menyatakan:
"setiap
daerah taklukan harus mengakui kekuasaan Belanda dan tunduk kepada Gubernur militer
aceh. Daerah taklukan dilarang berhubungan dengan bangsa asing" .[10]
Maka seluruh pasukan Marsose dikerahkan sepenuhnya untuk mengadakan
pengejaran terhadap pasukan Panglima Polem, karena tempat persembunyiannya telah
diketahui oleh pasukan Marsose dan telah berhasil menawan ibu, istri, serta
anak-anaknya. Peristiwa ini menyebabkan Panglima Polem dan sisa pasukannya yang
berjumlah l50 orang terpaksa menyerah kepada Belanda dalam bulan September
1903.
Kenyataan ini menyebabkan perjuangan
rakyat Aceh semakin terdesak dan memberikan peluang bagi pemerintah Belanda
untuk menguasai seluruh wilayah kerajaan Belanda. Hal ini tidaklah membuat perjuangan
rakyat menentang Belanda berakhir sama sekali namun perjuangan rakyat masih
tetap berlangsung. Para pemimpin adat dan kaum ulama masih tetap mengadakan
perlawanan dan mernilih mati syahid daripada menyerah. Ini adaiah satu-satunya daerah
pertahanan rakyat yang belum dikuasai oleh pasukan Marsose. Dengan dikuasainya
benteng yang terakhir oleh pasukan Marsose, maka seluruh wilayah Aceh berada
dalam naungan kekuasaan Belanda. Meskipun pada teori politik Snouck berhasil dalam
menundukkan perjuangan rakyat Aceh, namun pada kenyataannya perjuangan rakyat
Aceh masih tetap berlangsung secara bergerilya hingga pendudukan Jepang pada tahun
1942.[11]
[1]
Yayasan Al-Hikmah, jurnal dua bulanan Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam,
No. 49 THN, Jakarta: PT Tomasu,
XI 2000, hlm. 60.
[2]
Criksetra: Jurnal Pendidikan dan Kajian Sejarah, volume 3 nomor 4
agustus 2013, 3408-50
[3]
C. Snouck Hugronje, Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhatara,1973, hlm.
8
[4]
M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda, Jakarta: Balai
Pustaka, 1983, hlm. 104
[5]
Ibid,
[6]
M T. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka
Jaya, 1987, hlm. 88
[7]
Zakaria
Ahmad, Cut Nyak Meutia, Jakarta: Manggala Bhakti,1993, hlm. 9
[8]
Op, Cit, Deliar Noer, 1982, hlm. 26
[9]
Nugroho
Notosusanto dkk, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka,
1984, hlm. 259
[10]
Mr.
Hardi, Menarik Pelajaran dari Sejarah, Jakarta: Haji Masagung, 1988,
hlm. 94
[11]
Op, Cit, Nugroho Notosusanto dkk
1983, hlm. 260
Problematika Pengelolaan Zakat Di Provinsi Sumatera Utara. (Studi terhadap pelaksanaan UU No: 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat).
BAB I
A.
Latar Belakang Masalah
Islam
adalah agama kesejahteraan, karenanya Allah mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai
Rasul-Nya dalam rangka merealisasikan kesejahteraan umatnya di seluruh persada
alam ini. Islam begitu sangat serius untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan
umat manusia. Karena memang persoalan ekonomi manusia akan dapat mempengaruhi
sikap teologis yang diambil. Kefakiran akan dapat menggeser tingkat teologis
seseorang menuju kekufuran. Zakat sendiri sesungguhnya menjadi instrumen
penting dan mendasar bagi kesejahteraan dan keadilan ekonomi umat manusia.
Zakat dihukumkan wajib bagi umat Islam yang telah memenuhi unsur persyaratan
sebagai muzakki (orang atau badan
yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat). Ketentuan
wajib tersebut menjadikan institusi zakat cukup signifikan untuk menekan lebih
jauh angka kemiskinan masyarakat.
Zakat
sebagai ibadah maliyah ijtima iyyah,
memiliki posisi yang penting, strategis, dan menentukan baik dari sisi ajaran
maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.[1] Sebagai
suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sebagaimana
diungkapkan dalam berbagai hadis Nabi saw., sehingga eksistensinya dianggap ma’lum min al-din bi al-dharurah atau
diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman
seseorang, demikian Ali Yafie menegaskan.[2]
Zakat
pada zaman Nabi Muhammad Saw. menjadi salah satu dari sumber pembiayaan Negara.
Seperti dijelaskan oleh Qutb Ibrahim Muhammad dalam Siyasah al-Maliyah li al-Rasul, sebagian sumber pemasukan dialokasikan
oleh Allah untuk berbagai aspek pembiayaan tertentu, di antaranya adalah sumber
pemasukan dari zakat. Allah telah mengalokasikan zakat ini untuk kaum fakir,
miskin, amil zakat, muallaf, pembebasan budak, orang yang terlilit hutang,
orang yang berjuang di jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil). Dengan demikian, tidak
boleh menggunakan zakat untuk selainnya, sebagaimana hal itu berlaku pula pada
sumber pemasukan Negara lainnya yang tidak dialokasikan untuk berbagai aspek
pembiayaan tertentu.[3]
Mengenai
pelaksanaan zakat ini, dapat dilihat dalam dasar hukumnya yang disebutkan pada
QS al-Taubah {9}: 60:
60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
Di samping ayat tersebut,
landasan tentang pelaksanaan zakat ini dapat dilihat dalam QS al-Taubah {9}:
103:
103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Bila
dilihat dalam QS al-Taubah {9}: 60 di atas, maka disebutkan bahwa salah satu
golongan yang berhak menerima zakat adalah orang-orang yang mengurus urusan
zakat yakni amil (al-‘amilina ‘alaiha).
Sedangkan dalam QS al-Taubah {9}: 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil
(dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat. Oleh sebab itu
pula pada zaman Rasulullah Saw. beliau mengutus beberapa sahabat sebagai amil
ke beberapa daerah. Pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah Saw. mengirim para amil
zakat di semua negara yang ditaklukkan Islam. Beliau mengirim Muhajir bin Abu
Umayyah dari al-Mugfhirah ke Shan’a, Ziyad bin Labid, saudaranya bani Bayadhah
al-Anshari ke Hadramaut, Adi bin Hatim ke Thay, Asad dan Malik bin Nuwairah ke
Bani Hanthalah ke wilayah Bani Saad, Rasul mengirim dua orang amil ke wilayah
Bahrain diutus al Ala bin al-Hadrami. Ali bin Abu Thalib ke Najran untuk mengumpulkan
zakat dan memberikan pula kepada Rasulullah jizyah
mereka. Rasulullah mengangkat Khalid bin Said bin al-Ash sebagai amil zakat
di Murad, Zabid dan Madzhaj.[4] Demikian
pula pada masa khulafaur rasyidin, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur
urusan zakat, dari masalah pengumpulannya hingga pendistribusiannya. Diambilnya
zakat dari muzakki (orang yang memiliki kewajian berzakat) melalui amil zakat
untuk kemudian disalurkan kepada mustahiq zakat, menunjukkan kewajiban zakat
bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi juga suatu
kewajiban yang juga bersifat otoritatif (ijabari).[5]
Ada
beberapa keuntungan pengelolaan zakat dilakukan oleh lembaga pengelola zakat,
yaitu antara lain : pertama: untuk
menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua: untuk menjaga perasaan rendah diri pada mustahik zakat
apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat langsung dari muzakki. Ketiga: untuk mencapai efektifitas dan
efisiensi, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala
prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat:
untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat pengelenggaraan pemerintahan
yang Islami. Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada
mustahik, meskipun secara hukum syariah sah, akan tetapi di samping akan
terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama
yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.
Dalam
sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, pembentukan peraturan
perundang-undangan zakat, merupakan proses perjalanan yang ironik. Zakat dalam
fikih termasuk bagian dari fikih ibadah. Kebijakan pemerintah (penjajah dan
nasional) dalam bidang ibadah, adalah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya.
Snouck, misalnya mengisyaratkan bahwa ibadah umat Islam itu harus didukung dan
bahkan difasilitasi, sedangkan yang tidak boleh didukung adalah Islam politik.
Hingga saat ini, hampir tidak pernah ditemukan pernyataan atau ketentuan, baik
dalam khazanah fikih klasik maupun dalam bidang fikih kontemporer tentang
posisi zakat dalam konteks hukum perseorangan (privat) dan publik. Pembagian
ini (publik dan private) cukup penting untuk dipertimbangkan, mengingat ada
perbedaan implikasi.
Di
Indonesia, sejak tahun lima puluhan terdapat usaha-usaha untuk mengatur zakat
dengan undang-undang, tetapi belum berhasil. Dengan demikian sampai tahun 1968
zakat tetap dilaksanakan umat Islam secara perorangan atau melalui para kyai,
guru-guru ngaji dan juga lembaga-lembaga keagamaan/organisasi Islam dan belum
ada suatu badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengurusi zakat
(kecuali di Aceh sejak tahun 1959). Pada tahun 1968, melalui Pidato Peringatan
Isra Mi’raj di Istana Negara pada tanggal 26 Oktober 1968, Presiden RI
menganjurkan pelaksanaan zakat secara lebih intensif untuk menunjang
pembangunan Negara. Beliau sendiri menjadi Amil Zakat tingkat nasional. Seruan
Presiden tersebut sangat besar artinya bagi pelaksanaan zakat di Indonesia,
karena beberapa Gubernur/Kepala Daerah kemudian mengeluarkan Surat Keputusan
untuk membentuk Badan Amil Zakat di daerahnya masing-masing.[6]
Seiring
dengan semangat transformasi hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Nasional yang di
antaranya dapat dilihat dengan lahirnya Undang-Undang No: 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan juga lahirnya Kompilasi Hukum Islam dengan payung hukum
Inpres No: 1 tahun 1991 dan keputusa Menteri Agama No: 154 tahun 1991, pada
tahun 1991 juga terbitlah Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Indonesia dan
Menteri Agama Republik Indonesia No: 29 tahun 1991/47 tahun 1991 tentang
Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Dalam SKB tersebut dinyatakan
bahwa Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah yang selanjutnya disingkat BAZIS
adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan,
penyaluran dan pemanfaatan zakat infaq dan shadaqah secara berdayaguna dan
berhaasil guna (Pasal 1 ayat a). Bazis ini bersifat mandiri dan mempunyai
kepengurusan yang terdiri dari unsur ulama, cendikiawan dan tokoh masyarakat
formal dan nonformal yang beragama Islam, sebagai pembina maupun sebagai
pelaksana (Pasal 7 ayat 1). BAZIS bersifat mandiri dan mempunyai kepengurusan
yang keberadaannya diberitahukan kepada dan dikukuhkan oleh Pemerintah Daerah
setempat, serta menetapkan program yang tidak bertujuan mencari keuntungan,
melainkan untuk kepentingan sosial masyarakat (Pasal 5).[7]
Pada
perkembangan selanjutnya tentang zakat lahirlah regulasi yang lebih jauh
tentang pengelolaan zakat, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No: 38 tahun 1999
Pengelolaan Zakat dan dilanjutkan dengan lahirnya Keputusan Menteri Agama (KMA)
No: 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No: 38 tahun 1999 dan
Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No:d/291
tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Dalam
Bab II Pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat
bertujuan :
1.
Meningkatkan
pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2.
Meningkatkan
fungsi dan peranan keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan keadilan sosial.
3.
Meningkatkan
hasil guna dan daya guna zakat.
Dalam Bab III Undang-Undang No: 38 tahun 1999 tersebut
dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari 2 jenis, yaitu Badan
Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Badan Amil Zakat terdiri
dari unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu (pasal
6 ayat 4). Berbeda dengan Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat adalah institusi
pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh
masyarakat (penjelasan pasal 7 ayat 2).[8]
Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan
pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat dan
tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat,
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12, dan pasal 11 undang-undang
tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,-.[9]
Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di
negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh
masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan
menyerahkan zakat kepada lembaga pengelola zakat.
Mengingat adanya dua jenis kelembagaan tim pengelola zakat,
yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ), maka dengan
sendirinya memberikaan ruang yang luas kepada masyarakat, di luar lembaga
pemerintah untuk ikut berpartisipasi mengembangkan sumber daya zakat.
Menjamurnya Lembaga Amil Zakat yang ada membuat masyarakat memiliki pilihan
untuk menyalurkan zakatnya dengan tidak hanya kepada satu lembaga.
Provin Sumatera Utara, sebagai salah satu provinsi di
Indonesia, merupakan salah satu parameter bagaimana regulasi zakat sebagaimana
yang diamanahkan oleh undang-undang zakat tersebut dapat berjalan secara
efektif atau tidak. Sebagai provinsi besar dengan perputaran roda perekonomian
yang pesat, maka potensi zakat sangat signifikan untuk dikaji. Di Provinsi
Sumatera Utara sendiri terdapat berbagai lembaga pengelola zakat seperti Badan
Amil Zakat (BAZ) Kota Medan, Rumah Zakat, Dompet Peduli Waspada, Dompet Dhu’afa
dan lainnya. Andai potensi zakat ini dapat dikelola dengan baik oleh para
pengelola zakat, tentu banyak hal dapat dikembangkan secara sosial dan ekonomi.
Berdasarkan data dari Badan Informasi dan Komunikasi Provinsi Sumatera Utara,
bahwa memiliki kapasitas ekonomi yang cukup besar yang ditunjukkan lewat nilai
(uang) PDRB
Sumatera Utara triwulan I tahun 2015 atas dasar harga berlaku mencapai
Rp.138.019,78 milyar. Jumlah volume kegiatan
ekonomi ini, sekaligus memberikan kontribusi lebih kurangnya pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 23,26 persen,
industri pengolahan sebesar 19,37 persen serta perdagangan besar dan eceran dan
reperasi mobil dan sepeda motor sebesar 17,58 persen. Dari sisi pengeluaran,
diperoleh dari komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) sebesar 54,17
persen, komponen Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB) sebesar 30,99
persen dan komponen pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 6,38 persen.[10]
Sementara itu dari jumlah penduduk sebanyak Menurut
hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990, penduduk Sumatera Utara
berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara
telah meningkat menjadi 12,98 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara pada
tahun 1990 adalah 143 jiwa per km² dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 178 jiwa per km². Dengan
Laju Pertumbuhan Penduduk dari tahun 2000-2010 sebesar 1,10 persen dengan penduduk muslim sebanyak 8.579.830 jiwa atau 66,09 % dari jumlah keseluruhan.[11] Oleh
sebab itulah, berangkat dari berbagai persoalan di atas, maka penulis akan
melakukan penelitian yang berjudul Problematika
Pengelolaan Zakat Di Provinsi Sumatera Utara. (Studi terhadap pelaksanaan UU No: 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat).
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas maka yang menjadi masalah pokok adalah:
Bagaimanakah Problematika Pengelolaan Zakat di Provinsi Sumatera Utara. Secara
spesifik, uraian lebih detail dari masalah pokok di atas adalah :
1.
Bagaimana
manajemen pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera
Utara?
2.
Faktor-faktor
apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengelolaan zakat?
3.
Bagaimana
koordinasi antar lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara?
4.
Bagaimana
pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara ditinjau
dari Undang-Undang No: 23 tahun 2011 tentang zakat?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun
yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Efektifitas
Pengelolaan Zakat di Provinsi Sumatera Utara. Secara spesifik, maka uraian
tujuan tersebut lebih detailnya adalah untuk :
1.
Menjelaskan
bagaimana manajemen pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat Provinsi
Sumatera Utara.
2.
Mengidentifikasi
faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengelolaan zakat.
3.
Menjelaskan
koordinasi antar lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara.
4.
Mengetahui
pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat Provinsi Sumatera Utara ditinjau
dari Undang-Undang No: 23
tahun 2011 tentang zakat.
D.
Kegunaan Penelitian
Secara
formal, penelitian ini berguna sebagai pemenuhan tugas dalam rangka
penyelesaian tugas akhir untuk mendapatkan gelar magister pada Program
Pascasarjana UIN SU Program Studi Hukum Islam. Di samping itu, penelitian
berguna sebagai bahan akademik kepada masyarakat, Pemerintah provinsi,
lembaga-lembaga amil zakat, dan para akademisi untuk mengetahui bagaimana
sistem pengelolaan zakat di Provinsi Sumatera Utara. Lebih jauh penelitian ini,
menjadi masukan untuk mengevaluasi aplikasi pengelolaan zakat di lapangan,
hingga zakat diharapkan mampu menjadi pilar dalam menumbuhkan perekonomian
masyarakat.
E.
Batasan Istilah
1.
Problematika
Problematika adalah
berbagai problem.
2.
Provinsi
Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara adalah
nama salah satu provinsi terbesar di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa.
Ia merupakan salah satu provinsi dari pulau Sumatera.
F.
Kerangka Teori
Dalam
mempelajari hukum, pemahaman mengenai “law
in action” sama pentingnya dengan pengetahuan mengenai “law in books”. Anggapan utama yang
menjadi pegangan di mana-mana adalah bahwa struktur normatif hukum
perundang-undangan merupakan pencerminan dari berbagai hukum sebenarnya
beroperasi. Anggapan ini didasarkan pada asumsi bahwa para pejabat kurang
kreatif di dalam menciptakan hukum dan dalam menerapkan hukum, para pejabat
hanya menyatakan bahwa pemerintahan dijalankan dengan hukum dan bukan oleh
orang-orang.[12]
Roscoe
Pound –pelopor aliran Sosiological
Jurisprudence- berpandangan bahwa hukum bukan hanya merupakan kumpulan
norma-norma abstrak atau merupakan suatu tertib hukum saja, akan tetapi hukum
juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Untuk menjelaskan pandangannya
ini Roscoe Pound mengemukakan konsep social
engineering. Menurutnya fungsi hukum adalah melakukan social engineering di dalam masyarakat, sedangkan hukum merupakan social-machinery yaitu suatu alat
sosial.[13] Dalam
melakukan ssocial engineering hukum
harus diperkembangkan terus menerus agar selalu sesuai selaras dengan
nilai-nilai sosial yang berubah-ubah.[14]
Satjipto
Rahardjo dalam bukunya Hukum dan
Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di
Indonesia, menyatakan bahwa hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan hukum secara sadar untuk
mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau
untuk melakukan perubahan-perubahan yang
diinginkan.[15]
Mengikuti pemikiran Hart, -seperti juga dikutip oleh Satjipto Rahardjo-, maka
penyelenggaraan hukum dalam masyarakat itu bisa berbeda dan untuk itu ia
mengajukan dua model struktur masyarakat. Yang pertama adalah yang mempunyai
susunan sederhana dengan sistem kontrol sosial yang tidak mempunyai
bentuk-bentuk yang jelas, melainkan sekedar berupa sikap umum yang terdapat
pada para anggota masyarakat untuk mengikatkan diri pada pola-pola tingkah laku
standar. Pada masyarakat model yang kedua, di situ sesuai dengan tingkat
kompleksitas masyarakatnya dapat dijumpai bentuk-bentuk penyelenggaraan hukum
yang jelas dan terperinci.[16]
Keberadaan
hukum dan masyarakat pada gilirannya menjadi dua aspek yang saling memberikan
pengaruh satu dengan lainnya. Oleh sebab itu upaya penemuan, pembuatan hingga
penerapan suatu hukum haruslah melihat secara teliti terhadap perkembangan dan
perubahan sosial yang ada. Jangan hendaknya kita mengubah suatu sistem karena
hanya ingin sesuatu yang baru tanpa mempertimbangkan manfaat dan resikonya.
Smelser
menyebutkan ada 4 hal yang terdapat dalam aksi-aksi sosial pada setiap
masyarakat yaitu :
1.
Nilai-Nilai.
2.
Norma-Norma.
3.
Mobilisasi
motivasi perseorangan untuk aksi yang teratur dalam peran-peran kolektivitas.
4.
Fasilitas
situasional atau informasi, keterampilan, alat-alat, dan rintangan dalam
mencapai tujuan-tujuan yang kongkrit.[17]
Pengelolaan zakat di Provinsi Sumatera Utara tentunya
bukanlah suatu aksi yang berdiri sendiri. Di samping payung hukum yang telah
mengaturnya situasi sosial masyarakat dan kesiapan lembaga secara profesional
dan juga amanah, sangat mempengaruhi bobot efektifitasnya. Provinsi Sumatera
Utara dengan variasi masyarakat dari segi pendidikan, suku, agama, ekonomi dan
sebagainya cukup beragam, menjadikan masyarakat urban ini lebih selektif dalam
menentukan pilihan-pilihannya. Akhirnya tidak jarang umat Islamnya lebih ingin
untuk menyalurkan zakatnya secara personal dari pada institusional. Dari sisi
payung hukumnya sendiri, meskipun pengaturan tentang zakat telah diatur pada
level undang-undang, namun secara substansial belum mampu menjadikan zakat
sebagai institusi keislaman yang efektif. Dari segi sanksi misalnya
undang-undang ini baru menyentuh pada sisi pengelolanya, belum pada tahap
muzakkinya.
G.
Kerangka Konsepsional
1. Pengertian
Zakat
2. Latar Belakang / Hikmah Disyariatkannya
Zakat
3. Dasar Hukum Zakat
4. Syarat
Muzakki (Orang yang wajib berzakat)
1) Dimiliki secara sempurna.
2)
Termasuk harta yang berkembang.
3)
Telah mencapai nishab.
4)
Telah mencapai satu haul.
5)
Kelebihan dari kebutuhan pokok.
5. Mustahiq
Zakat
(Orang Yang Berhak Menerima Zakat)
6. Sejarah
Perkembangan Zakat.
a.
Pada masa Rasulullah SAW.
b.
Perzakatan di Indonesia.
1)
Pengelolaan zakat sebelum kemerdekaan
2)
Pengelolaan zakat di Awal kemerdekaan
3)
Pengelolaan Zakat Sebelum Tahun 90-an.
4)
Pengelolaan Zakat Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor
38 Tahun 1999.
7. Syarat-Syarat
Wajib Zakat.
8.
Harta yang Wajib di Zakati
9. Dasar
Hukum Zakat Profesi
10.
Pengaturan Tentang Pendistribusian Zakat Setelah Lahirnya Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
H.
Hipotesis
Dari
pemaparan di atas maka dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa pengelolaa zakat di
Provinsi Sumatera Utara belum optimal sesuai dengan UU No: 23 tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat, karena banyak faktor diantaranya undang-undang yang
belum utuh untuk mencakup aspek pengelolaan zakat, di samping aspek profesional
lembaga dan tingkat kepercayaan masyarakat yang masih rendah.
I.
Kajian Terdahulu
Kajian
seputar zakat sebenarnya banyak telah dibahas oleh para penelitian dan ilmuwan.
Yusuf Al-Qaradhawi misalnya dengan karya
monumentalnya telah menulis buku yang berjudul Fiqh al-Zakah, yang dalam edisi Indonesia berjudul Fikih Zakat.
Dalam Kitab ini penulis telah menjelaskan konsep zakat dengan panjang lebar,
dari persoalan landasan normative, filosfis, hingga hal-hal teknis tentang apa
dan bagaimana zakat tersebut. Selain itu, dengan pengarang yang sama telah
menulis karya dengan judul Dauru
al-Zakat, fi Ilaj al-Muyskilat al-Iqtishadiyah, dalam edisi Indonesia
berjudul Spektrum Zakat dalam Membangun
Ekonomi Kerakyatan. Dalam buku ini mencakup dua pembahasan besar. Pertama, merupakan pembahasan yang
sebenarnya disiapkan penulis untuk disampaikan di seminar internasional tentang
perekonomian Islam yang dilaksanakan di pertengahan tahun tujuh puluhan di
Makkah, Saudi Arabia; dengan penyelenggara Universitas Malik Abdul Aziz, yang
diikuti banyak dari ulama syari’ah dan juga para ahli ekonomi di penjuru dunia.
Pembahasan-pembahasan yang ada di seminar ini lalu dipublikasikan di majalah
yang telah dipilih, termasuk diantaranya pembahasan pembahasan tentang peran
zakat dalam mengatasi permasalahan ekonomi dalam masyarakat. Kedua, pembahasan tentang faktor-faktor
utama yang menunjang keberhasilan administrasi zakat di setiap masyarakat dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan Islam
darinya, serta utnuk mengatasi segala permasalahan yang ada dalam masyarakat.
Pembahasan inipun sebenarnya adalah pembahasan yang penulis siapkan untuk Bank
el-Islamiy Lit-Tanmiyah (Bank Islam Untuk Pembangunan) di Jeddah.
Selain
itu terdapat pula penulis-penulis di Indonesiaa yang telah menguraikan tentang
zakat, misalnya saja Teungku Muhammad Hasbi Asn Shiddieqy, Pedoman Zakat. Ali Yafie, dalam
Menggagas Fikih Sosial, dan sebagainya.
Di Provinsi
Sumatera Utara, pada waktu acara seminar: Interational
seminar on Islamic Economics as Solution, pada tanggal 18-19 September
2005, yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), telah dimuat
berbagai tulisan seputar zakat dalam Proceedings
of International seminar on Islamic Economics as Solution, di antara
tulisan tersebut adalah : Mustafa Edwin (Ketua Umum DPP Ikatan Ahli Ekonomi
Islam –IAEI) dan Yusuf (Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Komisariat UI), Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan
Kemiskinan di Era Otonomi Daerah. M. Jufri : Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) (Wujud konsep Ekonomi Kerakyatan
Islam). Irfan Syauqi Beik (Dosen Ekonomi Syari’ah Fakultas Ekonomi dan
Manajemen IPB) dan Didin Hafiduddin (Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Republik Indonesia), Zakat dan
Pembangunan Perekonomian Umat. Hasan Aedy, Peranan Pemerintah dan Ulama dalam Pengelolaan Pajak, Zakat dan Wakaf
Untuk Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Ekonomi Umat.
Dalam
bentuk penelitian akademik misalnya Sjaikhul Hadi Permono, Pola Pemikiran Zakat : Badan Amil Zakat Infaq/Shadaqah (BAZIS) Daerah
Khusus Ibu Kota. Namun, dari kesemua khazanah intelektual di atas belum ada
yang membahas tentang zakat di era undang-undang zakat khususnya di Provinsi
Sumatera Utara dan secara lebih spesifik penelitian terhadap lembaga dan badan
amil zakat yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
J.
Metode Penelitian
1.
Objek
dan Jenis Penelitian
Objek
dari penelitian ini adalah Badan Amil Zakat Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga
Amil Zakat se- Provinsi Sumatera Utara khususnya Rumah Zakat, Dompet Peduli
Waspada, Dompet Dhu’afa, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di Provinsi
Sumatera Utara dengan spesifikasi kajian berupa penelusuraan terhadap
pengelolaan zakat yang dilaksanakan di dalamnya apakah berlaku efektif atau
tidak. Di lihat dari jenisnya, maka penelitian ini termasuk wilayah penelitian
lapangan (field research) karena
penelitian ini melakukan studi kajian terhadap penerapan undang-undang zakat
yang berlaku di Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat se- Provinsi Sumatera
Utara khususnya Rumah Zakat, Dompet peduli Waspada, Dompet Dhu’afa, Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2.
Peta
Keilmuan
Ditinjau
dari peta keilmuannya maka penelitian ini berada dalam wilayah kajian hukum
Islam. Penelitian ini akan menggali lebih jauh penerapan Undang-Undang No 23 tahun 2011 tentang pengelolaa zakat yang berlangsung di satu daerah –Provinsi
Sumatera Utara-, yang dalam ilmu-ilmu keislaman, kajian ini berada dalam
wilayah studi hukum Islam.
3.
Pendekatan
Pendekatan
yang dilakukan adalah pendekatan sosiologis (sociological approach)
dan legalistik (legal approach).
Karena penelitian ini melakukan telaah terhadap apa yang berlangsung di
lingkungan Badan Amil Zakat Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga Amil Zakat se-
Provinsi Sumatera Utara khususnya Rumah Zakat, Dompet Peduli Waspada, sangat
terikat dan dengan kondisi sosial dan budaya hukum masyarakat khususnya dalam
institusi yang bersangkutan, disamping itu karena aspek peraturan
perundang-undangan menjadi komponen yang tidak terpisahkan maka penelitian ini
juga melihat dari sudut perjalanan yuridisnya.
4.
Pengumpulan
Data
Salah
satu kunci utama dari sebuah penelitiaan adalah bagaimana mengumpulkan
data-data yang diperlukan yang berhubungan dengan masalah penelitian yang
dimaksud. Adapun jangka waktu yang akan dilihat dari efektivitas lembaga ini
adalah selama tahun 1999 hingga tahun 2015. Dalam proses pengumpulan data, maka
penelitian ini membagi kepada tiga skala prioritas yaitu data primer, sekunder
dan tersier. Data Primer yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan zakat, seperti Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, serta hasil pandangan dan
pemikiran para fungsionaris kelembagaan zakat baik Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) se- Provinsi
Sumatera Utara, baik melalui wawancara maupun angket. Disamping itu pandangan
masyarakat Provinsi Sumatera Utara juga termasuk sebagai data primer yang
menurut sensus terakhir berjumlah + 12,98
juta jiwa yang tersebar pada 33 kabupaten/kota se-Provinsi Sumatera Utara.[18]
Mengingat begitu luas dan banyaknya kabupaten/kota yang sebagai populasi nya,
maka penelitian tidak mengambil
keseluruhannya, tapi hanya mengambil beberapa orang di semua golongan masyarakat
seperti: Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengusaha, pedagang, alim ulama, dosen,
guru, dan masyarakat lainnya, yang berada di 5 kabupaten/kota sebagai sampel
yang dianggap mewakili semua persoalan. Jumlah penduduk yang dijadikan sampel
sebanyak 500 orang. Adapun kabupaten/kota yang akan diteliti adalah: Kota Medan,
Kota Pematang Siantar, Kota Kisaran, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli
Serdang. Termasuk yang merupakan data primer penelitian ini adalah Peraturan
Perundang-undangan yang terkait dengan pembahasan ini.
Adapun
data sekunder yang dimaksud dari penelitian ini adalah berbagai buku atau
jurnal dan berbagai tulisan lain yang membincangkan pembahasan dimaksud, dan
data tersiernya adalah berbagai buku dan karva yang ada hubungannya secara
tidak langsung dengan penelitian ini berfungsi sebagai data pelengkap.
5.
Analisis
Data
Setelah
data-data yang diperlukan terkumpul, maka tahapan berikutnya adalah melakukan
analisa data. Dalam penyajiannya penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analitis dengan analisa data menggunakan metode analisis isi mengingat data ini
bersifat deskriptif.
K.
Sistematika Pembahasan
Penulisan
laporan penelitian ini dibagi ke dalam 6 (enam) bab dengan sistematika sebagai
berikut :
Bab Pertama : merupakan pendahuluan. Bab ini
berisi disain penelitian, yang menjelaskan latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan istilah, kerangka
teori, hipotesis, kajian-kajian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab Kedua : merupakan pengenalan terhadap
manajemen pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat di kota medan, yang
terdiri dari, pelembagaan amil zakat dalam perundang-undangan Indonesia, profil
lembaga-lembaga amil zakat di Kota Medan yang komponennya adalah: Bazda
Sumatera Utara, Lembaga Amil Zakat (LAZ) Waspada, Al-Hijrah, Dompet Dhu’afa,
Rumah Zakat, dan pada bagian akhir pada bab ini akan membahas tentang
pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil zakat di Kota Medan.
Bab Ketiga : membahas tentang faktor-faktor
penunjang dan penghambat dalam pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga amil
zakat di Kota Medan, yang terdiri dari faktor penunjang, yang meliputi faktor
internal dan faktor eksternal. Selanjutnya faktor penghambat yang meliputi
faktor internal dan faktor eksternal.
Bab Keempat : membahas efektifitas
pengelolaan zakat oleh LAZ Kota Medan, yang akan menguraikan : sikap masyarakat
muslim terhadap eksistensi Lembaga Amil Zakat di Kota Medan, sikap masyarakat
muslim Kota Medan terhadap pengelolaan zakat oleh LAZ, pandangan masyarakat
muslim Kota Medan terhadap efektifitas LAZ Kota Medan dalam peningkatan ekonomi
umat Islam.
Bab Kelima : adalah bab penutup, yang akan
menyajikan kesimpulan, saran dan rekomendasi.
[1] Yusuf Al-Qaradhawi, al-Ibadah fi al-Islam, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), h. 235.
[2]Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan,
1994), h. 231.
[3]. Qutb Ibrahim Muhammad, Siyasah
al-Maliyah li al-Rasul, edisi Indonesia: Bagaimana Rasulullah mengelola Ekonomi, Keuangan dan Sistem
Administrasi, pen. Rusli, (Ciputat; Gaung Persada Press, 2007), h. 231.
[4]Qutb Ibrahim Muhammad, Siyasah al-Maliyah li al-Rasul, ibid. H.
241.
[5] Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (t.tp;
t.p, 1998), h. 85.
[6] Sjaikhul Hadi Permono, Pola Pemikiran Zakat: Badan Amil, Infaq/Shadaqah (BAZIS) Daerah
Ibu Kota Jakarta, (Jakarta: Tesis pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, 1984), h. 5.
[7] Lihat. Departemen Agama
Republik Indonesia: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji, Pedoman Pembinaan Bazis: Hasil
Pertemuan Nasional BAZIS se-Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 1992), h.
107-114.
[8] Pusat Riset Informasi
dan Ekonomi Syari’ah (PRIDES), Kompilasi
Perundang-Undangan tentang Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Gaung Persada (GP) Press, 2008), h.177-193
[9]Ibid. h. 177.
[11]https://begawanariyanta.wordpress.com/2013/02/27/khazanah-peta-6-persebaran-umat-islam-di-indonesia/ diakses 17 oktober 2016,
pukul 15:24 wib.
[12] Ronny Hanitiyo Soemitro,
Studi Hukum dan Masyarakat (Bandung:
Alumni, 1985), h. 38
[13] Ibid. h. 26.
[14] Ibid. hlm. 27.
[15] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan
Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia (Bandung: Alumni, 1979),
hlm. 142.
[16] Lihat H.L.A. Hart, The Concept of Law (London, Oxford
University, 1972), hlm. 89-97. Pendapat ini dikutip pula oleh Satjipto
Rahardjo, Ibid.
[17] Neil J. Smelser, Theory of Collective Bahaviour (New
York: The Free Press, 1962), h. 9
[18] https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kabupaten_dan_kota_di_Sumatera_Utara, diakses 17 oktober
2016, pada 15:49 wib.
Langganan:
Postingan (Atom)